Oleh Pdt. Weinata Sairin
”Apabila kamu membawa seekor binatang buta untuk dipersembahkan, tidakkah itu jahat? Apabila kamu membawa binatang yang timpang dan sakit, tidakkah itu jahat? Cobalah menyampaikannya kepada bupatimu, apakah ia berkenan kepadamu, apalagi menyambut engkau dengan baik? Firman Tuhan semesta alam.”
Maleakhi 1:8
Manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah memiliki relasi yang khusus dan spesifik dengan Allah, Khalik Pencipta Alam Semesta. Relasi itu dilakukan dalam ibadah, pada saat berdoa dan memuji nama Tuhan, pada saat memberikan persembahan, atau bentuk-bentuk lain yang diatur oleh Gereja yang di dalamnya kita mampu mewujudkan relasi dengan Allah.
Kesemua wujud dan bentuk relasi itu seharusnya terjadi dengan sangat baik dan optimal, dan sebagai cerminan rasa syukur kita kepada Tuhan Allah yang telah menganugerahkan keselamatan kepada umat manusia.
Misalnya, kita harus menyanyi dengan kaidah-kaidah standar: suara tidak sumbang, sesuai dengan partitur lagu, volume suara yang memang sesuai dengan kebutuhan ibadah. Pakaian yang kita kenakan juga sopan elegan.
Jangan kita beranggapan menyanyi untuk Tuhan itu tidak perlu bagus, yang penting iman kita. Anggapan ini tidak berdasar, sebab menyanyikan nyanyian Gereja sebagai bagian dari liturgi/ibadah harus dilakukan dengan sangat baik, optimal; devosional dan juga khidmat.
Pendeknya, semua unsur-unsur liturgi yang ada dalam tata ibadah itu kita baca/laksanakan dengan sangat-sangat baik sehingga ibadah itu terasa benar-benar sebagai sebuah ’dialog interaktif’ antara kita dan Allah, dan ada kesegaran baru yang kita nikmati dari ibadah yang durasinya lebih kurang satu jam itu.
Kita tidak merasa bosan atau hampa dalam ibadah itu. Sebaliknya, kita akan merasakan energi baru dalam diri sebagai bekal memasuki dunia yang penuh turbulensi di minggu depan.
Ibadah kita terasa kering dan hampa, bahkan membosankan, apabila unsur-unsur liturgi itu semua dibaca secara mekanis, tanpa aksentuasi dan penghayatan. Banyak terjadi slip of the tongue pada saat pemimpin membaca, salah ketik dan salah kutip nyanyian dalam lembar liturgi, dan Paduan Suara yang tidak dipersiapkan dengan lebih bagus.
Kondisi ini acap diperparah dengan khotbah yang berdurasi lebih dari 45 menit, dengan topik yang disajikan tidak populer, dan gaya bahasa agak kuno. Pada bagian akhir, pendeta biasanya kehilangan fokus dan kesulitan mencari kata penutup.
Andaikata elemen-elemen yang amat penting tidak mengalami persiapan dengan baik, cukup besar pengaruhnya dalam konteks kita membangun relasi dengan Tuhan. Oleh karena itu, ada Gereja-gereja yang melihat
bahwa dalam ibadah, aspek entertain juga perlu mendapat perhatian sehingga umat dari segala usia tetap kerasan dan enjoy dalam beribadah di Gereja. Bahkan, mereka merasakan adanya pencerahan spiritual dalam diri mereka.
Ayat Alkitab yang dikutip dari Maleakhi 1:8 memang cukup menarik untuk dipelajari, bagaimana membangun relasi dengan Allah melalui persembahan dalam konteks Perjanjian Lama.
Ayat ini mengungkapkan kritik yang cukup pedas terhadap umat yang mempersembahkan kepada Allah binatang buta atau timpang, sakit. Firman Tuhan menegaskan bahwa tindakan seperti itu adalah tindakan yang jahat! Mengapa tindakan itu disebut jahat? Karena tindakan itu bertentangan dengan hukum agama yang berlaku saat itu.
Dalam Kitab Ulangan 6:21 secara tegas dinyatakan bahwa lembu/kambing yang cacat, timpang, atau buta dilarang untuk dipersembahkan kepada Tuhan (cf Imamat 22:18, Bilangan 6:14, dsb.).
Binatang yang dalam kondisi seperti itu tidak layak untuk disembelih dan dipersembahkan kepada Tuhan. Namun, umat tetap bisa memakan daging sembelihan itu, kecuali darahnya.
Hal yang menarik adalah, Firman Tuhan dalam Maleakhi itu memberikan pembandingan andai binatang yang cacat itu disampaikan kepada bupati. Apakah sang bupati berkenan dan menyambut si pemberi dengan baik?
Warning dan sindiran kuat Firman Tuhan dalam Kitab Maleakhi, yang ditulis lebih kurang tahun 470 SM, masih tetap relevan hingga zaman ini.
Relasi kita yang khas, spesifik dengan Tuhan Allah harus terus dipelihara dari saat ke saat melalui banyak bentuk. Dalam semangat memuliakan Allah dan bersyukur kepada-Nya maka doa, nyanyian, dan persembahan kepada Tuhan mesti kita berikan yang terbaik.
Jika para pembesar saja selalu ingin kita beri yang terbaik, apalagi Tuhan Allah yang telah memerdekakan kita dari belenggu dosa. Sudah selayaknya kita memberi yang terbaik bagi Tuhan, Allah yang kita panggil Bapa dalam nama Yesus Kristus.
Dalam ikatan dengan Yesus Kristus, kita tidak lagi berbicara tentang mempersembahkan kambing atau domba atau binatang atau benda apa pun. Kita semua, anak-anak Tuhan Yesus, dipanggil untuk ”mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup yang kudus dan yang berkenan kepada Allah…” (Roma 12.:1).
Kita perlu menyimak ulang bentuk-bentuk persembahan kita kepada Tuhan. Dalam pemikiran manajemen modern berapa persen dari anggaran rumah tangga kita yang kita siapkan khusus untuk Gereja.
Dalam sebulan misalnya ada orang yang mampu membeli sekian bungkus rokok, mengapa ia takmampu untuk memberi permbahan yang layak bagi Tuhan?
Kita harus melakukan kajian, perenungan ulang, koreksi tentang bagaimana kita memberi persembahan yang prima bagi Tuhan. Harus diakui ada banyak hal yang memengaruhi kualitas persembahan kita.
Ada soal teologi, misalnya nas-nas Alkitab yang dibacakan menjelang pengumpulan persembahan dalam ibadah di Gereja, bisa juga soal manajemen keuangan Gereja yang tidak transparan, dsb,dsb.
Apapun dan bagaimanapun, kita harus memberi persembahan terbaik bagi Tuhan, bahkan mempersembahkan tubuh kita bagi Tuhan.
Selamat Menyambut dan Merayakan Hari Minggu. God Bless.!