oleh Pdt. Supriatno
Bacaan: Markus 25:21
Selamat pagi, bapak-ibu, mas-mbak, eyang kung-eyang putri dan Saudaraku yang baik. Puji syukur dan terima kasih kepada Allah, pagi yang baru kita masuki. Semoga tidur dan istirahat malam menyegarkan kita.
Firman Tuhan untuk direnungkan, “Pada waktu itu lewat seorang yang bernama Simon, orang Kirene, ayah Aleksander dan Rufus, yang baru datang dari luar kota, dan orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus.”
Markus 25:21
Saudaraku, tindakan apapun yang dilahirkan dari keterpaksaan, membuat pelakunya terbeban bukan suka cita. Keterpaksaan adalah situasi di bawah tekanan. Bukan lahir dari kesadaran sejati. Seorang anak yang pergi sekolah karena motif terpaksa, maka pasti proses dan hasilnya berbeda jika dibandingkan ia melakukannya di bawah dorongan rasa cinta dan suka cita.
Simon dari Kirene. Nama Simon adalah nama yang umum dipakai. Sama seperti nama Bambang atau Robert pada masyarakat kita. Karena nama Simon banyak dipakai sebagai nama diri, maka agar membedakan dengan nama Simon yang lain, lalu ditambahkan nama kota asalnya.
Simon dari Kirene, berati Simon yang berasal dari sebuah kota Kirene. Kota Kirene adalah sebuah kota yang terletak di sebuah negeri yang zaman sekarang bernama Lybia. Negeri yang pernah dipimpin Muammar Khadafi, seorang diktator yang mati mengenaskan di akhir hidupnya.
Simon datang dari kota Kirene ke Yerusalem untuk merayakan paskah. Zaman itu, orang-orang Israel yang bermukim di negeri lain berdatangan untuk hari istimewa itu. Sengaja mereka datang untuk merayakan Allah membawa keluar Israel dari Mesir. Tujuan Simon ke Yerusalem dalam rangka untuk itu.
Ternyata, pada saat bersamaan, di Yerusalem tengah berlangsung proses pengadilan dan penjatuhan vonis hukuman atas diri Yesus. Hukumannya kita tahu semua, hukuman mati dengan bentuk disalib.
Sesungguhnya, saat melakukan ziarah ini, Simon berada pada waktu dan tempat yang tidak pernah diduganya. Entah bagaimana, ia berada tepat pada saat Yesus sedang memikul salib menuju Golgota. Prajurit melihat Yesus sudah limbung dan lemah. Mereka lalu berinisiatif mencari orang menggantikan Yesus sementara memikul salib tersebut. Karena beratnya salib itu, pasti tidak ada yang suka rela menerima tugas ini. Maka, para prajurit memaksa orang yang hadir di sana dan mereka memilih satu dari sekian banyak orang waktu itu. Dan orang itu adalah Simon dari Kirene tersebut.
Saudaraku, jelas memikul salib itu bukan tujuan utama Simon ke Yerusalem. Malah, bisa jadi tidak terbayangkan sebelumnya. Jadi, ia melakukannya karena dipaksa. Dan bisa saja ia mau melakukannya juga dengan perasaan terpaksa. Namun, dari sanalah ia melihat dan mendapatkan momen berjumpa dengan Yesus secara dekat. Memang tidak lama dan tidak ada percakapan langsung di antara Simon dan Tuhan Yesus. Tapi, komunikasi non verbal, tanpa kata-kata itu, dan yang teramat singkat itu mengubah diri Simon. Dari sanalah tumbuh cinta dan imannya kepada Yesus.
Saudaraku. Kegiatan apapun yang Kita jalani sekarang jika itu bersifat terpaksa, kaki kita berat untuk melangkah. Suasana hati pun tidak bergairah. Ogah-ogahan. Sama halnya untuk yang lain; bekerja di kantor, mengajar di sekolah, melayani di gereja, merawat orang tua, mendampingi yang sakit, dsb. Bila berangkat dari keterpaksaan, semua itu dijalani tanpa gairah. Penuh keluh. Kita tidak bisa menemukan keindahan yang lahir dari tindakan bersifat terpaksa.
Saudaraku, Alkitab banyak memberi kesaksian tentang perubahan karakter manusia. Terjadi pada diri nabi maupun rasul. Musa dari seorang peragu menjadi pemimpin yang matang dan tegar. Simon Petrus dari penakut berubah menjadi pemberani. Rasul Paulus dari sosok yang membenci Kristus berubah hidupnya untuk Kristus.
Dari Simon dari Kirene kita melihat perubahan. Allah mengubah dari orang yang bertindak terpaksa menjadi tindakan yang dilakukan dengan cinta dan suka cita. Maka, kita melihat siapapun di tangan Allah bisa berubah.
Bagaimanapun, ketika melakukan segala hal dengan cinta. Maka sejak itulah lahir tindakan yang mengesankan. Kita bisa merawat bertahun-tahun orang yang kita kasihi dengan sabar? Kita bisa menjalani tugas sampai pensiun tanpa cacat. Kita dapat merawat perkawinan tetap awet dan bahagia. Dsb. Jelas, kunci semuanya itu adalah menggeser dari keterpaksaan ke dorongan cinta dan suka cita.
Kita berdoa, “Tuhan, kiranya kami tetap mengasihi tidak dengan keterpaksaan dari ke hari. Setia kepada Tuhan dalam segala perubahan suasana kehidupan. Dan menghayati berkat yang datang, sekecil apapun. Karena Engkau memakainya bisa menjadi suka cita besar. Dalam Kristus, kami berdoa. Amin.