Oleh: Pdt. Hariman A. Pattianakotta
Otonomi daerah (Otda) sudah cukup lama bergulir. Otda menjadi bagian dari agenda reformasi. Otda memberikan ruang yang cukup bagi daerah-daerah untuk menata diri dan mengelola sumber daya yang dimiliki, sehingga kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat dapat tumbuh cepat di berbagai wilayah NKRI.
Di era Otda, hadir dan tumbuh juga kabupaten-kabupaten baru, hasil dari pemekaran daerah. Spirit dan tujuan pemekaran pada dasarnya baik. Pemekaran bertujuan mempercepat pembangunan demi kesejahteraan masyarakat di daerah yang dimekarkan. Pemekaran datang dari bawah, dari desa, kecamatan, ke kabupaten. Maka ketika terjadi pemekaran daerah, dampak kesejahteraan seharusnya terasa sampai ke desa-desa.
Dana Desa dan Kesejahteraan
Pemerintah pusat memiliki perhatian yang besar untuk membangun Indonesia dari desa. Selain ada kementrian yang khusus menangani soal desa, kucuran dana desa setiap tahun sangat menjanjikan untuk kesejahteraan rakyat. Satu desa satu milyar. Dengan kebijakan dan kucuran dana desa ini, maka sudah selayaknya kita melihat pertumbuhan industri, pertanian, perikanan, atau pun pariwisata di desa-desa, sehingga orang desa tidak perlu pindah ke kota. Dengan demikian, arus urbanisasi dapat di bendung di satu sisi.
Pada sisi yang lain, dengan dana desa yang milyaran rupiah itu, maka seharusnya dalam kurun waktu lima tahun belakangan kita sudah melihat pertumbuhan ekonomi yang meningkat pesat di berbagai desa di Indonesia. Tak bisa dipungkiri, ada beberapa desa yang berhasil memanfaatkan dana desa dengan baik dan optimal, sehingga potensi desanya berkembang dan berdampak positif bagi kemajuan desa. Namun, secara umum, rasanya masih jauh panggang dari api. Apa yang diharapkan belum banyak terjadi Dana desa sudah mengucur, namun kesejahteraan tak kunjung hadir. Lalu, pertanyaannya, ke mana saja larinya dana desa yang sangat besar itu? Bagaimana pemanfaatan dan pengelolaannya?
Pemekaran Desa, Bancakan Anggaran, dan Potensi Konflik
Demi mendapatkan dana desa, harian Kompas pada Rabu dan Kamis, 4 dan 5 Desember 2019, memperlihatkan bagaimana permainan pemerintah kabupaten (Konawe, Sulawesi Tenggara) dalam menciptakan desa-desa fiktif. Tujuannya tidak lain, yaitu membancak dana desa. Tindakan manipulatif tersebut jelas merupakan tindak pidana yang merugikan keuangan negara.
Indikasi atau gejala pembancakan uang negara itu sangat mungkin terjadi juga di banyak daerah lain. Kita misalnya bisa melihat pemerintah kabupaten yang mendorong pemilihan kepala desa di negeri-negeri adat di daerah Maluku agar bisa mendapatkan dana desa. Padahal, negeri-negeri adat itu harus dipimpin oleh seorang raja. Dalih yang umum diketengahkan adalah karena belum tersedianya peraturan daerah yang mengatur mengenai desa/negeri adat di kabupaten. Maka, untuk sementara dilakukan saja pemilihan kepala desa sebagai desa administratif. Padahal, kabupaten-kabupaten yang ada di Maluku minimal sudah berusia di atas 10 tahun. Lantas, kita bisa bertanya, apa saja yang sudah dilakukan oleh DPRD dan bupati yang ada di situ, sehingga Perda tersebut tak kunjung ada dan sah berlaku? Ada apa sehingga Pemda di kabupaten tiba-tiba mendorong negeri-negeri adat untuk mengangkat kepala desa, serta mendorong pemekaran dusun menjadi desa?
Kebijakan yang hanya berorientasi untuk mendapatkan dana desa itu, selain berpotensi menciptakan korupsi yang sudah dirancang rapih dan sistematis, juga berpeluang menciptakan konflik inter dan antar komunitas, khususnya antara dusun (yang umumnya pendatang) dengan negeri adat. Bukan mendatangkan berkat, ide dan dorongan tersebut malah bisa menghadirkan laknat.
Peran Strategis Gereja
Dalam situasi terjadinya konflik dan korupsi yang sangat potensial itu, gereja sebagai entitas spiritual dan sosial ditantang untuk dapat hadir secara kritis dan bergerak untuk mengadvokasi masyarakat dan kebijakan publik. Gereja dapat menggunakan berbagai sumber daya yang dimiliki dan mengembangkan relasi yang konstruktif dengan agama lain untuk melakukan panggilan advokasi tersebut.
Dengan demikian, otonomi daerah dan pemekaran harus ditempatkan oleh gereja sebagai konteks dan ruang untuk berbagi tanggung jawab dan peran, termasuk gereja yang berada di dalamnya. Gereja/lembaga agama, pemerintah, korporasi, masyarakat sipil, dan media harus bergandeng tangan untuk memanfaatkan momentum otonomi daerah dan pemekaran untuk kesejahteraan dan keadilan seluruh masyarakat. Kolaborasi ini diharapkan menciptkan kerjasama yang kritis dan konstruktif di antara berbagai pihak yang ada, sehingga pembangunan daerah dapat berjalan dengan jujur, transparan, dan berkeadilan.
Spirit pentahelix itu yang harus dihidupi oleh semua pihak. Namun, apabila masyarakat sipil dalam konteks tertentu masih lemah, gereja dapat tampil sebagai pendorong dan penggerak advokasi kebijakan publik, sehingga kemungkinan dan potensi pembacakan anggaran negara diminimalkan, bahkan dinolkan. Peran strategis ini perlu untuk gereja lakukan, mengingat beberapa pertimbangan mendasar berikut ini.
Pertama, gereja adalah lembaga yang dipanggil oleh Allah Tritunggal untuk berkarya bersama-Nya guna menghadirkan damai sejahtera di dalam dunia atau masyarakat. Damai sejahtera itu terkait baik dengan dimensi rohani maupun jasmani. Karena itu, gereja terpanggil baik untuk membangun persekutuan dalam ibadat ritual, maupun persekutuan dalam ibadat sosial melalui pelayanan masyarakat.
Kedua, gereja adalah bagian yang utuh dari masyarakat. Ada tanggung-jawab sosial-kebangsaan yang melekat kepadanya secara natural. Satu-satunya jalan bagi gereja untuk menjalankan panggilan ini adalah terlibat aktif dalam soal-soal kemasyarakatan, termasuk advokasi kebijakan publik dan penguatan kapasitas masyarakat sipil.
Ketiga, gereja adalah infrastruktur sosial dengan struktur yang terbilang rapih dan mempunyai relasi yang kuat sampai di tingkat desa. Infrastuktur ini dapat menjadi sarana yang sangat efektif dan efisien untuk mentransformasi secara sekaligus warga jemaat dan warga masyarakat dalam segala aspek dan bidang kehidupan. Apalagi, dalam konteks masyarakat yang mayoritasnya beragama Kristen, gereja dapat melakukan fungsi advokasi dan transformasi secara lebih berdaya.
Lembaga Moral dengan Kepemimpinan Pastoral Yang Kuat.
Akan tetapi, ada satu syarat penting yang harus dipegang teguh oleh gereja, agar peran strategis di atas dapat dilakukan: Gereja harus tetap menjadi lembaga moral dengan kepemimpinan pastoral yang kuat. Walau pun gereja ikut serta mengurus soal-soal yang terkait langsung dengan politik, gereja tidak boleh menjadi lembaga politik. Pendeta atau para pemimpin gereja dalam hal ini memainkan peran pastoral dalam konteks sosial-politik, bukan berperan sebagai politisi.
Karena itu, para pemimpin gereja mesti mempunyai moralitas dan integritas yang kuat, hidup secara sederhana, penuh empatik, serta mempunyai visi yang jernih dan tajam untuk membangun gereja dan masyarakat. Inilah kualitas kepemimpinan pastoral yang harus dimiliki. Dengan kualitas ini, gereja akan mencitrakan dirinya sebagai lembaga pastoral yang kredibel dan memiliki otoritas saat berbicara dan melakukan karya pelayanan sosial yang membebaskan dan mempersatukan.
Karena itu, saya berpikir, para pendeta tidak perlu ikut berpolitik praktis untuk memperebutkan kekuasaan atas nama pelayanan publik. Cukup baginya mempersiapkan warga jemaat dan warga masyarakat yang kredibel, memiliki komitmen, integritas dan kompetensi untuk membangun daerah. Lalu, secara kelembagaan aktif memberikan masukan dan melakukan pengawasan agar pembangunan yang dilakukan pemerintah menguntungkan seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya memperkaya segelintir orang yang menjadi elit daerah.
Jika gereja dan para pendeta dapat menunaikan panggilan teologis-publik dan fungsi sosial strategis itu, maka kehadiran gereja dalam konteks otonomi dan pemekaran menjadi relevan dan signifikan.