Pembenaran Allah

Mentari telah terbit di timur, pertanda pagi baru telah tiba. Selamat pagi oma-opa, ibu-bapak dan saudara-saudaraku yang dicintai Tuhan Yesus. Puji Tuhan. Kita masih dipercaya menjalani kehidupan bersama keluarga kita masing-masing. Refleksi kita hari ini adalah mengenai pembenaran Allah

Firman Tuhan hari ini: ”Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; (12) aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. (13) Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. (14) Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

Lukas 28:11-14

Saudaraku, ada dua sikap manusia di hadapan Tuhan. Pertama, tipe manusia yang merasa punya prestasi keagamaan. Dia merasa semua tuntunan agama sudah diikuti. Semua kewajiban agama telah dipenuhi. Sehingga perjumpaan dengan Tuhan lebih bersifat laporan keberhasilan. Dia membeberkan segala hal yang berhasil dicapainya. Orang seperti ini, datang kepada Tuhan dengan kepala tegak dan dada penuh kebanggaan.

Orang Farisi termasuk tipe itu pada jaman Tuhan Yesus. Orang terkemuka. Dihormati di kalangan masyarakat. Memakai istilah sekarang, mereka adalah para tokoh agama (toga) sekaligus tokoh masyarakat (tomas). Seakan-seakan penguasa bidang keagamaan. Yang menentukan mana orang yang layak dan tidak di hadapan Tuhan. Dan bisa dengan mudah menjatuhkan sangsi berat atas nama agama. Terutama kepada orang berpandangan berbeda.

Orang tipe seperti itulah, doa pun bukan momen perjumpaan yang diisi kerendahan hati. Doa lebih mengagungkan diri sendiri, merendahkan orang lain. Doa itu pameran kesuksesan. Dengan demikian, orang Farisi tidak butuh pembenaran Allah. Mereka merasa sudah benar. Sudah suci. Semua ketentuan agama telah tuntas dijalani.

Lain hal profil pemungut cukai. Ia merasa hidupnya sarat kesalahan. Hidupnya penuh kegagalan mewujudkan bimbingan dan nasihat keagamaan. Ia merasa kecil. Dosa terlalu berat. Tidak heran ia tidak mempunyai keberanian mendekatkan diri pada Tuhan. Ia merasa terlalu kotor di hadapan Tuhan yang suci. Sikapnya penuh sesal. Sesal bahwa ia telah gagal memberikan sikap terbaik pada Tuhan.

Saudaraku, di mata Tuhan orang Farisi tidak memerlukan pembenaran Tuhan. Sudah merasa benar. Tipe manusia seperti ini bisa jadi kita temukan saat kini. Kewajiban agama yang dipenuhi jadi pameran. Akhirnya, sikap kesombongan yang menonjol. Dia merasa lebih saleh, suci dan benar.

Lain halnya, dengan si pemungut cukai. Dia merasa dirinya tidak layak di hadapan Tuhan. Sehingga jika dia diterima Tuhan dengan segala cacat cela perilakunya, oh itu anugerah besar. Pemberian tak ternilai. Pemberian yang betul-betul sangat berharga. Doa menjadi pintu terbuka penerimaan Tuhan.

Saudaraku, Yesus datang bukan untuk tipe orang Farisi. Tuhan Yesus datang sebagai tabib. Sedangkan yang membutuhkan tabib adalah orang sakit. Mereka yang merasa tidak layak. Kotor. Menatap Allah pun tidak berani. Kepada mereka itulah, Dia datang ke dunia. Dia membuka hati-Nya menerima orang-orang yang tidak sempurna. Rendah hati di hadapan Tuhan. Mereka yang tidak mengecam orang lain. Karena merasa dirinyalah yang layak dikecam. Mereka yang tidak pameran prestasi keagamaan. Karena mereka merasa Allah begitu agung. Dan mereka debu di hadapan-Nya.

Saudaraku, mari kita mengisi hari-hari di Minggu Adven 3 dengan pengakuan jujur dan rendah hati. Bahwa benarlah kita orang bersalah. Dosa kerap kita lakukan. Kita merindukan pembenaran Allah. Dialah telaga pengampunan kita. Puji syukur, Allah datang ke dunia. Dia mengulurkan tangan kepada kita. Dia menjadikan kita layak di hadapan Sang Maha Suci. Kita menjadi anak-anak-Nya. Dalam ketidak layakan kita berbenah diri. Semoga Allah saja yang menguatkan kita.

Kita berdoa. “Tuhan, kami beruntung karena Engkau datang bagi kami orang yang berdosa ini. Kami membawa ke hadirat-Mu kehidupan hari ini kesehatan bagi semua yang berkenan kepada-Mu. Inilah, doa kami Tuhan. Dengarlah dan kabulkanlah. Amin”.

Oleh Pdt. Supriatno