Selamat pagi, ibu-bapak, aki-nini dan saudara- saudaraku yang baik. Malam telah lewat dan Tuhan memberi kita istirahat dengan baik. Puji Tuhan. Refleksi pagi ini kita akan memaknai tentang titik batas.
Firman Tuhan yang jadi sumber refleksi, ”Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.”
Mazmur 90:5-6
Saudaraku. Saat kita melihat speedometer mobil di dash board, kita melihat angka kecepatan mobil. Dari angka 0 sebagai titik paling rendah, hingga 250 km/jam. Artinya angka 250 merupakan titik batas kecepatan mobil itu. Dengan demikian, siapapun tidak bisa mengendari mobil itu melebihi batas kecepatan. Jika dipaksakan, pasti mesinnya langsung rusak.
Pada dasarnya semua ada batasnya. Seorang pegawai negeri atau militer akan bersiap-siap mengakhiri tugasnya saat usianya sudah mencapai 58 tahun. Karena mereka tahu, ada batas usia yang harus dipatuhi. Usia pensiun. Siapapun terikat pada ketentuan itu.
Bacaan kita mengingatkan masa hidup manusia juga terbatas. Memang dalam kasus tertentu, ada yang mencapai usia hidup di atas 100 tahun. Namun, angka 70 tahun hingga 80 tahun merupakan batas pada umumnya. Itu pun disertai dengan memudarnya kebanggaan. Gantinya berbagai penderitaan, khususnya secara fisik. Dalam nada guyon dikatakan, orang makin tua ditandai dengan lambang kekayaan: ada ring di jantungnya, ada emas di giginya.
Jika sudah mencapai titik batas, maka dipaksakan jadi masalah. Setinggi apapun jabatan seorang pegawai, senang atau tidak. Rela atau tidak. Mau tidak mau, ia harus menerima segala sesuatu ada waktunya sebagai kenyataan. Yakni ia harus memasuki titik batas.
Lalu, ada pertanyaan penting. Apakah yang kita bisa lakukan menyangkut keselamatan? Kita membutuhkan, namun upaya apapun kita terbentur pada keyerbatasan. Kita sudah mencapai puncak kesalehan. Kita sudah berdoa sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya. Sayang, tidak ada satu pun manusia mampu meraih keselamatan. Lalu, bagaimana?
Saudaraku. Ada suatu fenomena alam, bernama pasir hisap. Jika seseorang terperosok ke pasir hisap lalu berjuang mau keluar. Justru pasir itu akan makin menyedotnya. Jadi, gerakan yang dibuat malah makin membahayakannya.
Lalu bagaimana agar bisa keluar dari pasir hisap dan lolos dari tenggelam? Satu-satunya jalan, ada orang yang mengulurkan tangan atau tongkat. Sekaligus bantuan ini harus dipercaya. Jika percaya orang terperosok pasir hisap itu, menangkap tangan terulur atau tongkat itu. Sehingga ia bisa ditarik keluar. Keselamatan seperti itu.
Natal adalah uluran tangan Allah, yang ditawarkan kepada manusia yang dihisap dosa. Tanpa itu, sekeras apapun perjuangan kita, justru dosa menghisapnya makin tenggelam. Kita berbuat kesalahan dan dosa. Segala usaha dan perjuangan tidak mampu membuat kita bisa keluar dari hisapan dosa. Itu berarti kematian. Syukurlah, natal merupakan wujud Tangan Allah yang terulur dan barang siapa percaya akan selamat (band Yohanes 3:16).
Jadi, kita sadar, betapa tanpa Allah yang datang dalam natal hidup kita binasa. Kita tidak bisa melewati titik batas kemampuan kita. Dalam hal ini tidak bisa menyelamatkan diri sendiri. Dengan minggu Advent kita mensyukuri dan bergembira bahwa Allah mengisi kebutuhan utama kita, yakni keselamatan. Sedangkan kita sendiri terbatas untuk menyelamatkan diri.
Kita berdoa, Tuhan, kami terbatas untuk meraih keselamatan. Kami bersyukur Engkau datang untuk mengambil alih dan menghadirkan Yesus, Bayi yang menyelamatkan kita.
Berkati hidup kami hari ini. Kiranya suka cita dan perlindungan dari-Mu menyertai sepanjang hari ini. Seluruh doa ini kami naikkan dalam nama Tuhan Yesus, Amin.
Oleh Pdt. Supriatno