Oleh: Pdt. Hariman A. Pattianakotta
Kecis dan Amfoang adalah dua desa yang terpisah jarak dan waktu. Kecis berada di Wonosobo, Jawa Tengah. Amfoang terletak di Nusa Tenggara Timur. Namun, dari kedua desa yang berbeda waktu itu ada inspirasi menarik mengenai pemberdayaan ekonomi.
Desa Kecis
Desa Kecis memilki alam yang subur dan indah. Penduduknya hidup rukun meskipun berbeda keyakinan. Selain Islam, di desa ini juga hidup orang Kristen yang tergabung dalam Gereja Kristen Jawa (GKJ).
Dari aspek pertanian, Kecis adalah penghasil durian dan salak. Kini mereka sedang serius menanam pisang. Mereka juga memiliki hutan pinus di bukit Sigondang yang menghadap gunung Sindoro-Sumbing. Hutan pinus ini sedang dikelola untuk menjadi tempat eko-wisata.
Di bukit Sigondang itulah UK. Maranatha bersama pemerintah desa Kecis menyelenggarakan Festival Durian dan Kreasi Kecis. Sejak 2018 UK. Maranatha berkunjung dan melakukan pendampingan dan pembinaan terhadap jemaat dan desa Kecis. Festival ini adalah bagian pendampingan dan pengabdian UK. Maranatha untuk pemberdayaan masyarakat Kecis.
Sebelum Festival, telah dilakukan pendampingan untuk membangun mental dan paradigma, ketrampilan pengelolaan keuangan, sampai bagaimana memasarkan produk-produk yang dimiliki. Festival Durian dan Kreasi Kecis adalah salah satu bentuk pemasaran dan perluasan informasi mengenai Kecis dengan potensi alam dan pariwisatanya.
Selain durian yang menjadi hits, ibu-ibu PKK juga memasarkan aneka makanan tradisional dan penganan yang bisa menjadi buah tangan, seperti dodol durian, dodol salak, dan aneka keripik. Para pengunjung yang datang dari daerah sekitar, dan ada juga dari Jakarta, dapat menikmati durian lezat manis dengan harga meriah, sebab dibeli langsung dari para petani.
Dengan cara itu, pemasukan petani akan lebih besar, dan geliat perjumpaan akan mendorong warga desa untuk terus berkreasi guna meningkatkan potensi dan memanfaatkan peluang yang dimiliki.
Amfoang dan Pendetanya
Amfoang tidak sesubur Kecis. Namun di Amfoang ada seorang pendeta hebat. Namanya Matham Melkian Newbaby. Ia bukan pendeta biasa. Ia memimpin kebaktian bukan hanya di gedung gereja atau rumah warga, tetapi juga di kebun-kebun. Yang ia taburkan bukan hanya benih firman/kata-kata, ia juga menanam pohon jambu mete, sayuran, sampai cabe.
Suatu ketika ia dikatakan gila oleh warga jemaatnya sendiri, sebab menanam cabe dalam jumlah besar di lahan yang cukup luas. Setelah panen cabe dan ia membeli mobil untuk angkut barang dagangan, barulah mereka sadar bahwa dengan tanam cabe mobil bisa dibeli.
Pdt. Melky lalu menggerakkan warga untuk belajar bertani dengan baik. Ia mengajarkan mereka bahwa sukses itu tidak hanya ada di kota, dan tidak selalu harus menjadi pegawai negeri. Seorang petani di desa juga bisa sukses. Karena itu, ia dan warga jemaat membuka lahan, mereka bercocok tanam, memproduksi madu dan hasil-hasil baik mulai mereka nikmati oleh kemurahan Tuhan.
Mereka berdoa dan bertani. Melky dan jemaatnya menanam dan menyiram, lalu Allah memberi pertumbuhan. Bahkan, kini ada jemaat di Jakarta yang ikut membantu untuk meningkatkan produktivitas mereka. Doa dan usaha memang tidak pernah sia-sia.
Inspirasi Pemberdayaan
Setiap desa atau jemaat tentu memiliki potensi dan peluangnya sendiri. Masalah dan tantangan pun sudah pasti berbeda-beda. Oleh karena itu, setiap jemaat/desa harus menemukan jalan pemberdayaannya masing-masing.
Akan tetapi, dari Kecis dan Amfoang kita dapat menimba inspirasi penting untuk dikembangkan di tempat masing-masing.
Pertama adalah semangat untuk berusaha. Keterbatasan dan masalah pasti ada, tetapi semangat berusaha akan membawa kita melampaui keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki.
Kedua, keberanian untuk bereksperimen. Gagal panen, bangkrut, adalah kesempatan untuk berhasil. Karena itu, tidak perlu takut gagal, tidak perlu enggan dibilang gila.
Ketiga, keterbukaan berkolaborasi. Zaman sekarang tersedia banyak kesempatan untuk berkembang dengan topangan lembaga/orang lain. Yang penting adalah kerendahatian untuk terbuka dan belajar bersama yang lain, serta berkolaborasi untuk meningkatkan potensi diri.
Keempat, belajar mengubah mindset, membangun budaya yang positif, dan terus berinovasi dan mengembangkan ketrampilan. Hal ini penting, agar kita bisa bertahan dan berkembang di zaman perubahan yang melaju cepat.
(Penulis adalah Pendeta Universitas UK. Maranatha, Bandung)