Oleh Pdt. Supriatno
Selamat pagi Saudara-saudara yang baik. Semoga pagi di hari Jumat ini, kita menghirup udara hari baru seraya mengucap syukur kepada Allah. Sebab, karena Dia-lah, kita dan keluarga kita dituntun dari hari Senin hingga memasuki hari ini.
Firman Tuhan yang menyertai kita di hari ini, dari Hosea 11: 9, “Aku tidak akan melaksanakan murka-Ku yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku tidak datang untuk menghanguskan.”
Saudara-saudaraku, bagi siapapun yang suka memasak tentu paham betul makna hangus. Seekor ikan yang dibakar atau digoreng yang kurang hati-hati bisa hangus. Gosong. Kalau sudah gosong ikan itu kehilangan kualitas rasa kelezatannya. Rasanya pahit. Tidak enak sama sekali. Cenderung orang memuntahkan kembali bila tanpa sengaja menyantap ikan hangus. Lidah kita menolak mencecapnya. Gigi kita malas mengunyahnya.
Kondisi makanan yang hangus adalah makanan yang sulit diolah lagi. Orang suka memilih membuang saja ikan yang hangus itu. Tidak berguna lagi. Tidak ada lagi yang bisa diambil dari makanan yang hangus. Semahal apapun harga belinya, saat diolah ternyata hangus, ya sudah. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Diberi bumbu apapun, hangus tetap hangus. Lebih baik nasib menjadi bubur daripada makanan yang hangus.
Saudaraku, ketika kata hangus menjadi kata yang dilekatkan pada manusia. Maka itu artinya, manusia itu tidak berguna lagi. Tidak tersisa kebaikan dalam dirinya. Satu-satunya manusia yang demikian cuma layak untuk dibuang. Dan itu bisa dialami tatkala Allah marah terhadap oknum manusia. Siapapun manusianya. Kemarahan Allah bisa menghanguskan. Manusia yang jadi sasaran kemarahan itu bisa disebabkan dua hal. Pertama, Oknum manusia itu melakukan kesalahan melewati batas. Hal lain, oknum manusia itu sudah tidak berguna lagi di mata Allah.
Saudaraku, umat Israel tingkah dan ujarannya sudah terlalu. Kepantasan dan kepatutan sebagai orang beriman kepada Allah, mereka telah campakkan. Tidak nampak bahwa mereka setia sebagai umat beriman. Mereka telah berpaling dari Allah dan menyembah illah. Sumber pujaan mereka berganti. Allah dilepas, illah dirangkul. Dan mereka tidak mau insyaf. Dalam kamus hidup mereka tidak ada kata bertobat.
Dengan gaya hidup yang membelakangi Allah dan kesalahan melampaui batas itu. Orang Israel bisa menjadi sasaran empuk kemarahan Allah. Kemarahan yang kelak mereka terima adalah mereka bukan apa-apa lagi dan bukan siapa-siapa lagi. Allah bisa menghanguskan mereka. Namun, suara lain kita dengar. Allah tidak menjadikan diri-Nya Pemarah. Kesalahan fatal Israel, ternyata tidak menjadikannya sebagai dasar kuat Ia menjatuhkan hukuman atas mereka.
Saudaraku, Allah menyatakan sebaliknya. Ia bukan menjadi Pemarah, melainkan tetap Pemurah. Ya, Allah tidak marah. Padahal kesalahan Isarel sudah ekstrim. Mengapa Allah bukan Allah Yang Pemarah? Firman Tuhan memberi alasannya. Yaitu, Allah tidak menghanguskan mereka oleh sebab Ia bukan manusia. Ya. Ia membedakan diri-Nya dengan manusia. Manusia itu ada batas kesabarannya. Emosinya bisa meledak. Apalagi jika melihat ketidak beresan dan kebrengsekan sebuah perbuatan. Sedangkan Allah beda. Ia lain dibanding ciptaan-Nya, manusia. Dia sungguh Maha tak terbatas kemurahan hati dan kesabaran-Nya. Artinya, Allah tidak cepat-cepat menghukum Israel. Ia akan tunggu dengan kesabaran, sampai mereka insyaf. Ia bersedia menanti hati nurani mereka bertunas kembali, sadar kealfaannya lalu kembali kepada-Nya.
Inilah hal yang menghiburkan kita pagi ini. Betapa kita telah banyak berbuat salah. Dalam bentuk kata, sikap dan perbuatan. Syukurlah, Allah kita Pemurah bukan Pemarah. Dia selalu menanti kita untuk berubah. Ia tidak cepat menghukum kita. Bukan berarti Allah setuju dan permisif dengan dosa kita. Bukan sama sekali. Karena Allah tahu bahkan Maha Tahu, jika Dia marah maka kita akan hangus. Jika sudah demikian, maka kita menjadi sosok yang tidak berguna lagi. Kita layak dibuang ke tempat sampah kehidupan. Itulah sebabnya Allah selalu membuka hati-Nya lebar-lebar menantikan kembalinya si anak bungsu yang hilang dalam perumpamaan yang dikisahkan Tuhan Yesus. Sama untuk kita pun. Dia terus menanti kita jika dalam fase kehidupan yang dijalani kita ‘pergi’ meninggalkan-Nya. Bersyukurlah, puji Allah. Allah kita adalah Allah Maha Pemurah bukan Maha Pemarah. Mari, terus menghayati kesabaran-Nya yang Maha Tak Terbatas.