Penuh Rasa Syukur

Oleh Pdt. Supriatno

Bahan: Lukas 17:17

Seiring malam berlalu, kita memasuki pagi di hari yang baru. Puji syukur kepada Tuhan, semalam kita tidur di bawah lindungan-Nya.

Firman Tuhan yang menjadi pijakan refleksi pagi ini, Lalu Yesus berkata: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu?”

Lukas 17:17

Saudaraku, meski tiap orang mendapat pemberian yang sama dari pihak tertentu. Belum tentu responnya sama. Kisah sepuluh orang kusta memberi gambaran tersebut.

Tuhan Yesus bertemu dengan sepuluh orang kusta. Mereka hidup di koloni bersama-sama, tersisih dari pergaulan sosial. Permintaan mereka satu dan sama, agar Tuhan Yesus mengasihani mereka. Wujud nyatanya mereka minta disembuhkan.

Penyandang sakit kusta bebannya berlapis-lapis. Mereka tidak bisa hidup normal. Tempat tinggal di tempat sepi di pinggir kota. Tidak bisa bergaul bebas. Pintu tempat beribadah tertutup bagi mereka. Jangankan dulu, jika sekarang ada orang mantan penyandang sakit kusta masuk beribadah di gereja. Mungkin saja, semua mata kurang ramah menatapnya. Dan tidak ada yang mau duduk di sampingnya.

Begitu juga, penyandang sakit kusta dihakimi sebagai orang yang kena hukuman Allah. Itu jelas, membebani pikiran mereka. Sehingga orang kusta tidak cuma emosinya yang sarat kelelahan. Pandangan keagamaan pun menambah kesesakan batinnya. Karena pandangan keagamaan yang menghakimi tidak memberi sikap simpati, apalagi empati.

Hari itu, Tuhan Yesus berjumpa dengan kalangan penyakit kusta. Tentu, harapan besar mereka
meruap atau bergejolak bahwa perjumpaan itu akan mengubah nasib mereka ke depan.

Untuk itu, mereka siap melakukan apa yang diminta Tuhan Yesus. Tak heran bagitu Tuhan Yesus meminta mereka pergi ke imam, mereka patuh. Mereka mengindahkan permintaan Tuhan Yesus. Patuh total tanpa sedikitpun ada rasa keberatan. Di tengah perjalanan itulah, mujizat terjadi. Mereka tahir. Penyakit mereka sembuh.

Saudaraku. Semua orang kusta sembuh. Tuhan Yesus tidak pilih kasih. Tidak ada yang tertinggal. Tuhan Yesus memperlakukan sama dan merata. Tidak ada yang satu diperlakukan lebih istimewa daripada yang lain.

Lalu, apa yang terjadi kemudian. Ternyata dari sepuluh orang kusta yang disembuhkan, cuma satu orang yang kembali. Satu orang ini merasakan betapa besar kebaikan Tuhan Yesus. Beban selama ini berakhir. Dia dipulihkan baik dari segi penyakitnya, sekaligus juga pergaulan sosialnya. Dengan kesembuhannya, ia bisa kembali ke tengah keluarga. Dan masyarakat membuka pintu lebar-lebar menerimanya.

Dengan demikian sungguh sangat berarti tindakan mukjizat itu. Sayangnya, kemana mayoritas yang telah sembuh itu? Cuma satu kembali buat mencurahkan rasa syukur dan terima kasih. Sisanya bagaikan kacang lupa kulitnya. Sembilan orang lupa diri.

Saudaraku, seharusnya berkat yang diterima dari Tuhan makin mendekatkan diri seseorang dengan Tuhan. Gejolak terima kasihnya mendorong untuk menghargai pemberian Tuhan. Ternyata, buat sembilan orang yang sembuh, berkat itu justru tidak mendorongnya menghargai tindakan Tuhan Yesus.

Saudaraku. Orang yang telah menerima kebaikan Tuhan, ada yang mengapresiasi Tuhan. Sebaliknya, ada juga yang melupakan kebaikan Tuhan. Saya kira Anda pun bisa jadi pernah mengalaminya. Anda telah berbuat baik kepada seseorang, boro-boro diapresiasi justru malah dilupakan. Kita memberi tentu tanpa pamrih tertentu. Kita tidak menuntut agar diingat kebaikan kita. Hanya, jangan lupa. Orang yang tahu berterima kasih adalah orang yang menyimpan dalam hatinya setiap kebaikan yang diterimanya.

Tuhan Yesus sempat bertanya, “Dimanakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?”.

Saudaraku, jaman now, terdapat kasus yang ekstrem, ternyata ada anak yang tidak tahu berterima kasih kepada jerih dan juang orang tuanya sendiri. Legenda Malin Kundang, yakni kisah anak yang menyangkali ibunya. Yang berarti juga mengingkari seluruh kebaikan ibunya. Tidak cuma kisah fiktif. Dalam kenyataan bisa terjadi, dan kita bisa temui. Ada anak-anak yang menelantarkan hidup ibu atau ayahnya di masa tua mereka.

TV BBC, London menyiarkan bahwa di Inggris banyak sekali orang tua yang merayakan natal sendiri dan dalam suasana kesepian. Kemana anak-anaknya? Ada. Tapi mereka tidak perduli. Orang tua seolah-olah tercampak di lorong kesendirian yang sepi. Dan TV itu menayangkan bagaimana pemuda-pemuda muslim dengan tulus, semangat, mendatangi orang-orang tua tersebut. Mereka berbagi suka cita. Ironi, anaknya sendiri asyik dengan dunianya sendiri tanpa ingat orang tua.

Saudaraku. Pada hari Senin ini, kita melangkah dengan mengawalinya berbentuk ungkapan syukur dan terima kasih kita kepada Tuhan. Sejalan dengan itu, kita menengok ayah atau ibu kita. Mereka yang sejak awal kehidupan kita menabur benih-benih kebaikan. Kita tidak melupakan mereka. Kita patut catat dalam kamus hidup kita, bahwa kita seperti sekarang pertama karena Tuhan. Kedua lantaran peran kebaikan ayah atau ibu kita. Dan yang tentu juga kita harus catat, ada banyak orang yang kepadanya kita pun patut berterima kasih. Mari kita teladani sikap satu orang kusta yang kembali kepada Tuhan Yesus. Mari, kita hindari sikap sembilan orang kusta yang larut dengan sikap tidak tahu diri. Berterima kasih saja tidak.

Kita berdoa, “ Tuhan, Engkau Maha Baik dan orang tua kami pun amat baik. Ajar kami tidak melupakan upaya dan kegigihan mereka mengasihi kami. Kiranya bibir dan hati kami dipenuhi rasa syukur dan terima kasih. Demikian pula kepada sesama kami yang banyak berperan dalam keberadaan kami. Kepada mereka pun, kami tidak melupakannya.

Kami serahkan mereka yang tengah bergumul dengan ujian hidup, apapun bentuknya. Tuhan, Engkau memberi kekuatan, kesabaran dan jalan keluar. Seluruh doa ini, kami panjatkan dalam nama Tuhan Yesus. Amin.