Refleksi Harian: 1 Raja-raja 17:9

Kekuatan Yang Memberdayakan

Selamat pagi, bapak-ibu, opa-oma dan Saudaraku yang baik. Dalam keadaan apapun kasih Tuhan hadir mewarnai hidup kita. Entah senang, atau susah. Dan kini, kasih Tuhan tetap menemani di pagi yang baru. Saudara-saudaraku bersyukur atasnya. Bahan refleksi harian: 1 Raja-raja 17:9

Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan.”

1 Raja-raja 17:9

Saudaraku, sosok perempuan itu janda, miskin lagi. Suatu kombinasi yang menunjukkan perempuan yang ditemui nabi Elia ini orang kecil dan lemah. Status janda waktu itu menunjukkan posisi sosial rendah, miskin menandakan secara ekonomi perlu bantuan. Jelas, perempuan itu tipe yang membutuhkan pertolongan. Dia wujud konkrit orang susah. Masa depannya buram.

Berhadapan dengan sosok demikian, spontan pikiran seseorang membayangkan perempuan itu sasaran untuk dibantu. Sulit membayangkan justru dia pihak yang membantu kesulitan orang lain. Apanya yang bisa diandalkan? Harta tidak ada. Uang pun tidak memegangnya.

Tapi, apa yang kita lihat? Ke perempuan itu nabi Elia diarahkan untuk mendapatkan makanan. Ke sang janda dan miskin itu, Allah memerintahkan Elia mencari pertolongan. Jika bertukar posisi dengan nabi Allah itu, kita yang diminta kepada janda miskin itu. Bukan tidak mungkin terbersit kesangsian, “ apakah tidak salah Allah menyuruh ke sana?” Apa yang bisa didapatkan dari orang justru dirinya sendiri musti dibantu. Perempuan itu tidak layak dimintai, yang pantas ia yang diberi.

Saudaraku, janda dan miskin. Hidup perempuan itu pasti berat. Pertanyaan apakah besok bisa makan, adalah pertanyaan utama dalam sosok perempuan itu. Dan, lihatlah, saat nabi Elia meminta makan, yang tersedia cuma sepotong roti untuk penyambung hidup hari itu. Sepotong kecil roti dan kayu untuk mengolahnya. Tak lebih dari itu. Sepotong roti yang jadi satu-satunya konsumsi untuk anaknya hari itu. Cuma itu yang tersisa. Esok, adalah hari ketidak jelasan.

Bisa jadi, nabi Elia bergumul batinnya saat meminta makan. Sebab, dengan meminta roti itu, ia sama dengan merampas sumber hidup satu-satunya milik janda itu. Bahkan, roti itu pun buat anaknya. Begitu pula, bagi sang janda miskin, ia pasti bergumul hebat pula. Batinnya terombang-ambing. Jika ia memberikan roti itu, lalu bagaimana dengan dirinya dan anaknya? Jika tidak memberi, Elia adalah seorang nabi. Dia harus mendapat bantuan sebagai utusan Allah, Sang Pemberi hidup. Dalam kekurangan harus memberi, bagaimanaoun sungguh merupakan momen pergumulan.

Saudaraku, kita tahu akhir kisah ini. Si janda miskin bisa keluar dari pergumulan. Ia lolos dari dilema. Ia memilih memberi di tengah ketidak berdayaan. Ia membantu, pada saat dirinya sendiri pada posisi pihak yang musti dibantu. Almarhum Bunda Theresa menyatakan, “jika mengasihi, mengasihilah sampai terluka”. Ini contoh nyata. Janda miskin itu memberi bukan dari kelebihan tapi dari kekurangan.

Hari ini, posisi kita di mana? Jika kita sekarang adalah orang yang kuat secara sosial dan ekonomi. Ulurkan tangan untuk mereka yang lapar dan haus. Kekuatan kita menjadi kekuatan yang memberdayakan pihak yang butuh bantuan. Jika saat ini, kita belum maju dan kuat, ternyata firman Tuhan mengetuk kita, bahwa kita pun harus berbuat terhadap mereka yang amat membutuhkan. Jangan tunggu nanti, tatkala Allah meminta kita untuk peduli dan berbagi.

Kita berdoa, “Tuhan, berilah kami hati yang mau peduli atas mereka yang menghampiri untuk dibantu.” Amin.

Oleh. Pdt. Supriatno

Refleksi Harian: 1 Raja-raja 17:9