Mendidik Anak Dengan Tepat
Selamat pagi, Saudara-saudaraku yang baik. Saat kita terbangun dari tidur kita, marilah kita mengarahkan rasa syukur dan terima kasih kita kepada Allah yang Maha Baik. Bahan refleksi harian: 1 Samuel 4:10-11.
Lalu berperanglah orang Filistin, sehingga orang Israel terpukul kalah. Mereka melarikan diri masing-masing ke kemahnya. Amatlah besar kekalahan itu: dari pihak Israel gugur tiga puluh ribu orang pasukan berjalan kaki. (11) Lagipula tabut Allah dirampas dan kedua anak Eli, Hofni dan Pinehas, tewas
1 Samuel 4:10-11
Saudaraku, kematian selalu menciptakan kabut duka. Terlebih jika kematian berkenaan dengan pelaksanaan tugas. Satu orang yang mati lantaran tugas mulian mengakibatkan kepedihan, apalagi kematian massal. Pasti makin bertambah-tambah dukanya.
Bangsa kita masih belum hilang rasa pedihnya dengan kematian 53 prajurit KRI Nanggala 402 dan seorang perwira tinggi di medan tugas. Dan yang paling terpukul adalah keluarga masing.
Berkaca dari peristiwa duka yang dialami tadi. Kita bisa merasakan kepedihan mendalam bangsa Israel. Israel menghadapi bangsa Filistin, ternyata mengalami korban material dan nyawa harus diderita Israel. Bangsa yang dicintai Allah menghadapi realitas pahit. Konon, 30.000 orang gugur.
Sebuah jumlah yang tidak sedikit. Bagi sebuah keluarga, kehilangan satu anggotanya gugur di medan perang itu sudah pukulan. Kehilangan besar. Demikian juga buat sebuah bangsa. Air mata kesedihan dan kedukaan mengalir di tiap keluarga Israel berkenaan dengan gugurnya putra terbaik mereka. Bangsa itu terpukul dan berduka.
Di antara yang gugur, ada dua nama yang disebutkan Hofni dan Pinehas. Dua nama dengan kepribadiannya yang mencoreng nama baik ayahnya sendiri. Mereka adalah anak imam Eli. Semasa hidupnya mereka tidak pernah mau mendengar nasihat ayahnya. Perilakunya jadi gunjingan. Sebab, tidak mencerminkan layaknya anak-anak pemimpin agama. Nama besar ayahnya dijadikan tameng yang melindungi perbuatan mereka yang tidak bermoral. Tukang main perempuan. Tukang mencuri pesembahan untuk Allah. Mereka memanfaatkan fasilitas ayahnya sebagai imam, tapi tidak menghargai Allah yang dilayani ayahnya.
Saudaraku, setiap orang pasti mati. Sayangnya, kematian Hofni dan Pinehas bukan bagian kehidupan yang orang banyak tangisi. Bukan tidak mungkin orang Israel merasa lega.
Selama ini, orang Istael sudah muak dengan perilaku dua bersaudara itu. Tingkah mereka yang jauh dari kesantunan dan nilai-nilai etika dan moral. Mereka selama ini lebih banyak membawa keresahan dan rasa malu, bahkan bagi keluarganya sendiri. Terutama imam Eli, seorang tokoh agama.
Saudaraku, hidup itu ada ujungnya. Termasuk anak seorang tokoh agama pun ada ujungnya. Yang disayangkan adalah saat tewas, Hofni dan Pinehas masih melekat dengan nama buruk. Mereka belum mengubah perilakunya. Mereka mati dengan nama yang bercela. Jika demikian, bisa saja bangsa itu justru terbebas dari beban moral. Sebab, telah tewas biang onar.
Bila demikian yang terjadi, betapa terpukulnya imam Eli. Kedua putranya saat hidup telah banyak merepotkan keluarga dan bangsa. Sedangkan kematian tidak diiringi rasa duka dan kehilangan.
Saudara, betapa penting mendidik secara tepat kepada anak-anak. Jika tidak, kelak anak-anak yang tidak mendapat pendidikan tepat lebih banyak merepotkan orang tua. Mereka menjadi sumber pergumulan orang tua.
Sayangnya, Imam Eli tidak memperlihatkan ketegasan sikap dan mendisiplinkan anak-anaknya. Dan buah yang ia panen adalah kepahitan. Karena itu, Saudaraku, kita menyediakan anak-anak kita tidak hanya makanan yang cukup, busana yang indah. Yang tidak boleh diabaikan, adalah anak-anak kita butuh pendidikan budi pekerti dan disiplin hidup yang baik. Sehingga anak-anak kita hormat kepada Allah dan sesama.
Kita berdoa, “Ya, Tuhan, jadikan kami sebagai pembawa kehendak-Mu dalam keluarga kami sehingga dalam keluarga kami takut akan Tuhan.
Doa dan harapan kami, kami alaskan dalam nama Tuhan Yesus. Amin.
Oleh Pdt. Supriatno