Sebuah Kenangan Indah 40 Tahun Silam:

“DUA JAM BERSAMA JENDERAL DARYATMO”

Oleh Pdt. Em. Weinata Sairin

Kesempatan Emas

Hari Sabtu, 13 Juni 1981 pukul 12.30, Sidang BPL-DGI hari kedua sedang berlangsung di Gedung GKP Sukabumi, baru saja ditutup; sesudah mengakhiri sebuah acara yang hangat: Laporan Umum BPH-DGI dan Laporan Bendahara. Sebagai anggota Majelis Ketua, yang kebetulan baru saja memimpin acara siang itu, saya benar-benar mengalami kelelahan yang tiada tara. Bayangkan saja bagaimana sulitnya memimpin sebuah sidang yang peserta-pesertanya adalah pimpinan Gereja, atau pimpinan Dewan Gereja-gereja Wilayah dan Badan-badan Persekutuan Oikumenis sejenisnya, dari berbagai penjuru tanah air. Mereka pada umumnya suka bicara panjang lebar menyerupai khotbah, terkadang menggunakan referensi ayat Alkitab dan ya tentu saja mereka berbicara dari latar belakang kepentingan Gereja dan lembaga yang mereka wakili.

Buat saya yang pertama kali memimpin sidang seperti ini, kelelahan dan kegugupan merupakan dua unsur yang tidak bisa saya hindarkan. Baru saja saya bergegas meninggalkan meja pimpinan, Sekretaris Umum DGI Dr SAE Nababan bertanya kepada kami:

“Siapa yang bertugas sore nanti?” Saya jawab: Menurut jadwal, Pdt. D.M. Lintong dari GMIM. Tapi rupanya dia agak terlambat datang.

“Wah bagaimana bisa memimpin kalau dia terlambat datang?” kata Dr. Nababan.

“Kalian bicarakanlah dulu, siapa yang pimpin nanti sore,” katanya lagi.

Sore itu dalam jadwal acara sidang tertera Ketua MPR-DPR RI Jenderal Daryatmo akan menyampaikan presentasi tentang pokok “Apa yang diharapkan dari masyarakat berhubung dengan penyusunan GBHN 1983”. Presentasi itu diberikan untuk memberi input bagi persidangan dalam rangka penyusunan naskah sumbangan pikiran DGI bagi GBHN 1983. Saya berpikir dalam hati: “Ah, senangnya jika saya berkesempatan bisa memimpin acara sore itu.” Namun serentak dengan itu muncul juga perasaan-perasaan yang membuat saya kecil hati: mampukah saya memimpin; kalau saya tidak mampu nanti, bukankah saya ‘mencemarkan’ nama DGI di depan pimpinan lembaga tertinggi negara? Dua perasaan serasa berperang dalam diri saya: Antara keinginan untuk menggunakan kesempatan yang sangat penting itu, dengan rasa ketidakmampuan saya!

Sambil berjalan menuju Wisma Oikoumene, saya mencoba menyadap bagaimana pandangan rekan-rekan Majelis Ketua yang lain. Ada yang merasa tidak siap untuk memimpin sore itu, ada yang menunggu saja bagaimana kesiapan saya: Artinya jika ternyata saya lelah dan tidak bisa memimpin sore itu, ia bersedia menggantikan saya. Saat itu juga kami mengambil keputusan, bahwa sore itu dalam acara presentasi Jenderal Daryatmo, saya akan memimpin sidang.

Saya bertekad untuk memanfaatkan kesempatan emas itu dengan sebaik-baiknya, akan saya kerahkan seluruh tenaga dan kemampuan saya agar acara sore itu dapat berjalan baik.

Petuah-Petuah Ketua Umum DGI

Siang itu juga sambil bersantap siang di Wisma Oikoumena, saya lapor kepada Sekum DGI bahwa Majelis Ketua telah sepakat bahwa pimpinan sidang sore nanti adalah saya sendiri. Sekum DGI kemudian mengajak saya menemui Ketua Umum dan membicarakan persiapan-persiapan untuk sidang nanti sore. Tidak banyak makanan yang bisa saya habiskan pada siang hari itu. Pikiran saya sudah dikuras oleh acara Jenderal Daryatmo, sebab itu dengan tekun saya mendengarkan nasihat-nasihat yang diberikan oleh Dr. P.D. Latuihamalo. Beliau memberi berbagai petunjuk yang sangat jelas dan terperinci tentang apa-apa yang harus saya ucapkan pada awal persidangan sore nanti. Saya mendengarkan penuh perhatian, persis seperti saya mendengarkan kuliah ketika di Jalan Proklamasi 27, sekitar delapan tahun silam.

Sesudah saya merasa puas dan mendapat kejelasan dari (eks) dosen saya itu, saya pun secepatnya pulang ke penginapan di Wisma Kencana. Petuah-petuah itu, benar-benar seolah-olah membangkitkan keberanian dalam diri saya: Bahwa saya merasa mampu dan tak perlu begitu takut menghadapi seorang jenderal dari Jakarta yang notabene, adalah pimpinan dari suatu lembaga negara tertinggi!

Siang itu di Wisma Kencana tempat kami menginap, saya tak bisa istirahat dengan tenang, sebagaimana biasanya, apalagi untuk mencoba memejamkan mata: Sulit sama sekali. Degupan jantung saya kadang-kadang terasa cepat dan keras, hanya karena acara sore itu, telah makin mendekat. Saya lakukan berbagai persiapan yang menurut pemahaman saya akan banyak membantu saya dalam mengantarkan acara sore itu: Saya baca naskah tentang sumbangan pikiran DGI bagi GBHN 1983, saya baca beberapa naskah tentang penataran P4 yang pernah saya ikuti dua tahun lalu. Tak perlu saya jelaskan lagi, bahwa saya pun memerlukan doa khusus dalam rangka tugas saya sore itu, memohon agar Tuhan memampukan saya bahkan mengerem kegugupan saya berhadapan dengan pimpinan lembaga-negara tertinggi dalam sebuah forum yang sangat formal! Saya juga berusaha menuliskan pokok-pokok penting yang akan saya ucapkan sore itu.

Pada pukul 15.00 ketika sedang deras-derasnya hujan membasahi Sukabumi, bersama beberapa teman, bergegas saya menuju gedung GKP Sukabumi, dengan kendaraan panitia.

Safari Biru

Jenderal Daryatmo agaknya datang terlambat. Seluruh peserta sidang sudah siap di tempat masing-masing, menanti penuh harap dan berdebar-debar. Majelis Ketua sibuk juga mengatur meja pimpinan, menggeser-geser kursi, tempat nanti Pak Jenderal akan duduk, sementara sound system yang sering macet itu, dicek lagi, agar segala sesuatunya nanti tidak mengecewakan.

“Kau tidak usah terlalu takut duduk dekat dengan Jenderal,” kata Dr. Nababan kepada saya, ketika saya menggeser kursi saya agak jauh sedikit dari kursi Pak Jenderal. Ada sekitar 30 menit para peserta menanti dengan penuh ketegangan. Bahkan telah ada semacam dugaan bahwa kemungkinan Jenderal Daryatmo tak bisa datang ke Sukabumi, oleh karena kesibukan beliau di Jakarta, yang sangat padat. Situasi yang tegang itu tiba-tiba saja berakhir. Binsar Sianipar yang ditugasi DGI menjemput Jenderal Daryatmo telah hadir di ruang sidang dengan wajah yang cukup meyakinkan bahwa orang yang dijemputnya memang datang. BPH DGI kemudian menjemput Jenderal Daryatmo dan membawa beliau ke konsistori untuk melepas lelah sejenak. Saya mendengar Pak Daryatmo bercakap akrab sekali dengan BPH DGI di konsistori GKP Sukabumi, sementara di luar hujan turun rintik tipis. Ada juga tawa kecil dari Pak Jenderal yang menyelingi percakapan itu. Lalu saya pikir, mengapa mesti takut dan kecil hati, toh Pak Jenderal suka tertawa juga.

Saya mendapat isyarat bahwa Jenderal Daryatmo segera memasuki ruang sidang. Saya pun dengan isyarat mengundang para peserta untuk berdiri, sebagai tanda menyambut kehadiran tamu penting itu. Sekum DGI mengantar Jenderal Daryatmo menuju meja pimpinan sambil memperkenalkan seluruh anggota Majelis Ketua dan menyalami mereka.

Jenderal Daryatmo, walaupun tampil dengan safari biru tua sore itu, kegagahannya sebagai Perwira Tinggi ABRI sangat kentara. Beliau tampak anggun, dan dengan sosok tubuh yang padat, penampilannya sangat berwibawa. Ketika saya jabat tangan beliau, gemetar juga saya dibuatnya.

Kesan yang Dalam

Sesudah secara resmi saya membuka sidang sore itu dengan ketukan palu, saya mulai dengan kata pengantar: “Bapak Ketua MPR-DPR RI Jenderal Daryatmo yang kami hormati, Saudara-saudara peserta sidang yang terhormat. Kami seluruh peserta sidang BPL DGI yang berhimpun di Sukabumi, mengucapkan selamat datang kepada Bapak Jenderal Daryatmo. Kami peserta yang datang dari berbagai penjuru tanah air, merasa sangat berbahagia oleh karena kami dapat bertemu, bertatap muka dengan Bapak Jenderal Daryatmo. Pertemuan ini adalah hal yang luar biasa bagi kami, karena sebagai Pimpinan dan Lembaga Tertinggi Negara, kehadiran Bapak memiliki arti yang khas dan penting bagi sidang kami kali ini. Oleh karena itulah perkenankan kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kami yang dalam dan tulus, atas kehadiran Bapak dalam sidang ini.”

Sudah saya mengulas secara singkat tentang peranan gereja dan orang-orang Kristen di Indonesia merebut, mempertahankan serta mengisi kemerdekaan RI, serta menjelaskan bahwa dalam sidang ini akan dirumuskan sumbangan pikiran gereja-gereja dalam rangka penyusunan GBHN 1983, saya pun mempersilahkan Jenderal Daryatmo menyampaikan ceramahnya.

Ceramah Jenderal Daryatmo mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari peserta sidang. Bukan saja karena isi ceramah yang sangat aktual dan penting, tapi dari segi peserta yang sehari-hari lebih banyak bergumul dengan masalah-masalah teologis, ceramah itu tentu saja sangat menarik. Tidak kurang dari 35 pertanyaan tertulis yang masuk, ketika kesempatan mengajukan pertanyaan diberikan. Sesuai saran penceramah, pertanyaan harus tertulis dan tak usah mencantumkan nama.

Saya mengunakan waktu luang bercakap dengan Jenderal Daryatmo, ketika peserta menuliskan pertanyaan mereka. Ia bertanya kepada saya tentang jumlah peserta yang hadir dan dari mana saja asal mereka. Saya bertanya tentang bagaimana respons masyarakat dalam rangka penyusunan naskah GBHN 1983? Setelah semua pertanyaan dikumpulkan, sidang diskors selama lima menit. Kesempatan bagi beliau untuk menyeleksi dan mempersiapkan jawaban.

Jenderal Daryatmo sangat teliti membaca setiap pertanyaan. Tidak ada pertanyaan yang dilewatkan. Semua dijawab. Pertanyaan meliputi berbagai hal. Beberapa di antaranya di luar kewenangan beliau. Ada soal UUD 1945, Surat Edarah Menag 70 dan 77, pendirian rumah ibadah, referendum, pembangunan, pemilu. Pendeknya seluruh masalah yang sempat dialami oleh Gereja-gereja dan yang sempat diungkap oleh pers. Ketika menyeleksi pertanyaan-pertanyaan, ada satu pertanyaan: Jika partai x menang dalam Pemilu 1982, apakah Pancasila masih tetap dipertahankan? (dalam naskah pertanyaan, nama partai disebut jelas). Beliau berbisik kepada saya:

“Wah, ini sudah prikik, nih!”
Tapi pertanyaan itu dijawab juga oleh beliau dengan mengajak agar seluruh bangsa memiliki tekad yang sama untuk mempertahankan Pancasila, karena Pancasila telah sanggup menjadi alat pemersatu dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Waktu sudah menunjuk pukul 18.00. Seluruh pertanyaan sudah dijawab oleh beliau. Acara segera diakhiri. Peserta tampak puas, karena pertanyaan mereka dijawab dengan jelas tanpa harus bersusah payah menembus dinding-dinding protokoler (yang ketat) di Senayan. Saya pun menutup acara dengan mengucapkan terima kasih kepada Jenderal Daryatmo. Mengucapkan selamat jalan dan menyatakan bahwa seluruh peserta sidang mendukung perjalanan bahkan pekerjaan Jenderal Daryatmo dengan doa.

Seluruh peserta berdiri. Kami bersalaman dengan Jenderal Daryatmo, sambil mengucapkan terima kasih dan selamat jalan. Hujan telah berangsur reda. Senja mulai memudar. Malam turun perlahan-lahan. Tangan saya tak gemetar lagi saat memberi salam perpisahan.

Malam itu sebelum terlelap dalam mimpi yang ceria, saya beryukur kepada Tuhan, bahwa Dia telah memimpin saya dalam menyelesaikan sebuah acara penting. Dalam ketidaksiapan dan ketidakmampuan saya, saya sangat berbahagia bahwa dalam hidup saya, sebagai rakyat biasa yang sipil, saya berkesempatan duduk berdampingan bahkan bercakap-cakap dengan Jenderal Daryatmo, seorang tokoh penting dalam republik ini.

Kesan yang dalam itu, begitu mahal untuk dikenang, dan teramat sayang untuk tidak dituang dalam sebuah tulisan.

Hari ini 40 tahun sesudah peristiwa itu terjadi saya kembali terbayang sosok Dr SAE Nababan Sekum DGI saat itu yang memotivasi saya dengan arahan cerdas bernas sehingga saya memiliki self confidence yang tinggi memimpin persidangan BPL DGI dengan nara sumber utama Jendral Daryatmo.

Pak Nababan, sosok dan figurmu yang cerdas dan energik telah menjadi bagian dari kedirianku!