Setia Pada Proses

Oleh Pdt. Supriatno

Selamat pagi, mas-mbak, bapak-ibu, opa-oma dan saudaraku yang baik. Puji syukur kepada Allah yang menempatkan kita di bawah sayap pernaungan-Nya. Sehingga pagi ini, kita bangun dan tetap menghirup udara kehidupan.

Firman Tuhan yang kita renungkan, “Lemparkanlah rotimu ke air, maka engkau akan mendapatnya kembali lama setelah itu.” Pengkotbah 11:1

Saudaraku, salah satu berkat yang kita tuai dari kemajuan teknologi adalah efesiensi waktu. Mengerjakan sesuatu dengan bantuan teknologi bisa selesai dengan segera. Jika kita mau berkirim kabar dengan seseorang, mudah sekali. Handphone kita dalam hitungan detik bisa memenuhi kebutuhan kita. Cepat dan ringkas. Tidak butuh berhari-hari seperti era saya berusia belasan tahun.

Tidak berbeda dalam hal memasak. Orang tua kita dulu memasak dengan kayu, makanan akan matang jauh lebih lama dibanding sekarang. Dunia yang kita huni semakin maju dan semakin modern. Seiring dengan itu semakin cepat membuat sesuatu.

Saudaraku, keadaan ini membentuk mentalitas manusia. Yakni mentalitas ingin serba cepat. Hal yang perlu direnungkan adalah merebaknya mentalitas bersifat ketidak sabaran. Serba ingin cepat. Ingin cepat kaya. Ingin karier cepat mengorbit. Ingin cepat punya kekuasaan. Ujungnya sikap tidak sabaran. Lama itu membosankan dan jelek.

Firman Tuhan mengajarkan tentang hasil dari sebuah perbuatan, yang hasilnya tidak bisa segera kita nikmati. Perlu waktu. Membutuhkan proses. Meski butuh waktu dan proses lama, tapi itu tidak sia-sia. “Melempar roti ke air” seakan tindakan tidak berguna. Buat apa? Paling-paling roti itu akan hancur dan hanyut. Bisa jadi dinilai perbuatan tidak bermanfaat.

Bagi Pengkotbah tidak demikian. Roti yang dilemparkan ke air akan disantap ikan. Ikan akan bertumbuh baik dengan mengkonsumsi roti itu, dan pada saatnya kelak ikan dapat dipanen. Ada ekosistem yang akhirnya manusia bisa memanen dengan suka cita. Dengan demikian, tindakan membuang roti ke air tidak sia-sia. Hanya memetik hasilnya memerlukan waktu, dan lama. muter-muter dulu, lama.

Saudaraku, membangun mentalitas, iman, karakter dan kepribadian tidak bisa segera memetik hasilnya. Lama sekali kita kelak menuainya. Meskipun demikian, yakinlah, yang kita lakukan itu tidak percuma.

Orang tua yang membimbing dan menasihati anaknya, guru membimbing muridnya, pemimpin gereja membina warganya, tidak serta merta menuai hasilnya. Sebuah nasihat diberikan sekarang, tidak bisa secara instan besok nasihat itu langsung kita bisa lihat hasilnya. Ada yang butuh berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Membangun mentalitas, karakter, iman, kepribadian tidak bisa ditangani dengan teknologi. Sulit bersifat serba cepat, layaknya membuat kopi atau teh yang bisa hasilnya bersifat instan. Diperlukan waktu dan kesabaran.

Karena itu, jika kita ingin membangun mentalitas, iman, kepribadian, karakter butuh kesabaran. Ada seorang teolog Jepang bernama Kosuke Koyama. Ia menulis buku “ Three Mile an Hour God”. Dia menyatakan, bahwa Allah membutuhkan waktu 40 tahun, untuk menanamkan satu pelajaran berharga. Yaitu, “bahwa manusia hidup tidak dari roti saja tapi dari firman yang keluar dari Allah”. Betapa lama. Ya, sangat lama menanamkan satu pelajaran saja. Lambat sekali, untuk watak orang modern. Sementara itu, jarak tempuh yang sebenarnya bisa dijangkau dengan menghabiskan waktu lebih cepat.

Saudaraku, berkaitan dengan itu, maka seorang guru, orang tua, pemimpin agama, bahkan siapapun. Kita dituntut punya stamina kesabaran ketika melakukan fungsi kita. Yakni saat kita mengajak dan mengajar orang lain agar sesuai harapan kita dan sepadan dengan firman Tuhan. Manusia bukan benda yang dapat ditangani teknologi.

Yang jelas, kelak kita tahu dan pasti kita lihat bahwa yang kita kerjakan ada hasilnya. Tidak ada yang percuma. Tidak ada yang tidak berguna. Apalagi untuk pekerjaan mulia, tidak ada yang sia-sia. Kini, kesabaran kita diuji.

Dalam masa sulit ini, kita diminta “Tinggal di Rumah”. Banyak yang mengeluh. Bosan. Lama banget. Kesabaran menjadi kunci untuk masuk ke sikap lain yang terpuji. mari kita menengok Firman Tuhan, ”kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan”. Roma 5:3b-4.