Oleh Pdt. Supriatno
Selamat pagi, Saudara-saudaraku yang baik. Mentari dengan setia terbit di timur setiap pagi. Terlebih Allah Sang Penciptanya, Dia setia dan selalu setia mendampingi kita. Puji syukur kepada-Nya di pagi baru.
Firman Tuhan menyatakan, “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya.” Mazmur 24:1
Saudaraku, setiap makhluk yang disakiti menjerit. Perlakuan sewenang-wenang pasti melahirkan erang kesakitan. Tidak semata-mata sebatas manusia, binatang juga alam.
Selama ini, telinga kita selalu diarahkan atas korbannya manusia. Mata kita ditatapkan ke sana. Itu tidak salah, itu tanda simpati kita. Itu benar sebab menunjukkan empati kita. Telinga dan mata kita sangat sensitif mendengar erang kesakitan manusia yang diciderai manusia. Dari sana, dari telinga dan mata, kemudian tumbuhlah kesadaran untuk mencegah dan menghentikannya.
Manusia memang menjadi pusat kepedulian kita. Lalu, bagaimana dengan jeritan binatang yang dilukai, bahkan dieksploitasi berlebihan? Manusia rela membantai berlebihan binatang untuk memenuhi nafsu keserakahan manusia. Konon, setiap tahun puluhan malah ratusan spesies binatang punah oleh manusia.
Saya ingat masa kecil. Hidup dan dibesarkan di desa. Secara teratur pergi ke sungai menangkap ikan. Saya ingat betapa beragam ikan yang didapat. Ikan paray, beunteur, kancra, tawes, beureum panon, dan banyak lagi. Kini, telah puluhan tahun saya tidak pernah melihat jenis-jenis ikan itu, apalagi menyantapnya.
Lebih ekstrim, bagaimana pula dengan tumbuhan yang hidup di Indonesia, dan belahan dunia lain? Hutan-hutan tropis dengan keaneka ragaman hayati makin kehilangan kekayaannya.
Saudaraku, firman Tuhan hendak mengajak kita meresapi makna alam semesta ini. Bagaimanapun, manusia bukan pemiliknya. Allah Pencipta, Dialah Pemilik sesungguhnya. Manusia punya mandat terbatas untuk menguasai. Menguasai alam, binatang dan semesta yang harus dipertanggung jawabkan. Menguasai harus disertai sikap merawat dan melestarikan. Kemudian tidak boleh dilupakan, harus dipertanggung jawabkan kepada Allah.
Kenyataannya seperti apa? Seluruh bumi mengerang karena penyalahgunaan yang menguras sebanyak-banyaknya potensi alam dan segenap makhluk yang hidup di dalamnya. Alam sebagai anugerah Tuhan disakiti. Tidak sekali tapi berkali-kali. Terus dan terus tanpa jeda. Eksploitasi menjadi bahasa biasa yang menafasi praktik perbuatan manusia yang tidak kenal merasa cukup. Bumi dan isinya yang merupakan berkat Tuhan, dieksploitasi sewenang-wenang sehingga menjadi kutuk.
Saudaraku, telah berulang-ulang para peduli lingkungan menyatakan bahwa ada yang tidak beres dari sikap manusia atas bumi dan isinya. Ada praktik manusia yang tidak sesuai nafas agama dalam hal memperlakukan tanaman, binatang dan semesta ini. Perubahan cuaca secara global, banjir bandang, dll, itu sebenarnya dering alarm bahaya. Tapi, manusia, khususnya sang penguasa negara adi daya, penguasa rakus dan insan konsumtif, tuli. Mereka (termasuk kita pun?) terus menutup mata-telinga dan kesadarannya.
Saudara, jangan-jangan virus corona adalah penjelmaan dari rusak parahnya alam semesta ini. Ia merupakan bentukan dari jeritan dan erangan dari alam dan semesta yang tersakiti. Keganasan mereka, virus corona mencerminkan tindakan keganasan manusia yang dilakukan atas alam semesta ini.
Jika, ya. Kita semua harus bertobat. Kita tidak menjalankan amanah Allah, mengelola alam ini jadi berkat tapi jadi laknat. Seharusnya alam semesta ini kita rawat, lestarikan dan kembangkan. Watak dan sikap keagamaan yang benar adalah bukan merusak dan menghancurkan alam dan isinya. Mari, kita hidup bersama alam dan menggunakannya dengan bijak. Sebab, kita bukan pemilik. Kita hanya pengelola mandat terbatas. Sedangkan Dia, Allahlah Pemilik sejatinya.