Habakuk 3:17-19
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia, betul-betul membuat kehidupan banyak orang seakan berantakan dan banyak rencana perlu ditata ulang. Nafkah pencaharian menjadi tak menentu pasca banyak tempat usaha yang ditutup untuk memutus rantai penyebaran virus yang belum ditemukan vaksin maupun obatnya itu. Sebagian pekerja mengalami pemotongan gaji, sebagian lagi malah menerima PHK. Para ibu kebingungan mengatur perekonomian keluarga yang terkoreksi jauh dari rencana semula; biaya hidup meningkat, tetapi pendapatan malah berkurang. Beban para orangtua pun bertambah karena harus mendampingi anak-anak bersekolah di rumah. Kaum lansia tak kurang menderita karena mengingat kondisi fisik renta umumnya melemah, mereka tidak diperkenankan beraktivitas di luar rumah, bahkan bergereja pun dilarang. Tujuannya semata agar mereka tidak sampai tertular virus itu. Kebosanan, perasaan terkungkung dan tak berdaya, stres yang mengarah ke depresi mulai melanda hampir semua keluarga di dunia, termasuk warga gereja.
Dalam kondisi yang menekan itu, fokus perhatian orang seakan terpusat pada situasi dan kondisi yang membuat mereka terpuruk itu. Kehidupan di tengah pandemi yang dianggap serba sulit dan kelam ini membuat banyak orang menjadi mudah emosi dan pendek akal sehingga tingkat kekerasan dalam rumah tangga meningkat, seperti halnya tindak kriminal di tengah masyarakat. Kerap dijumpai pula orang yang siang-malam mengeluhkan nasibnya dan menarik diri dari pergaulan maupun persekutuan. Banyak orang Kristen yang mulai semakin sulit mengucap syukur, beribadah, dan memuji Tuhan akibat tekanan yang berat itu. Ketika gereja melaksanakan ibadah secara virtual, sungguh menyedihkan karena kenyataan di beberapa tempat menunjukkan betapa semakin berkurang anggota Jemaat yang hadir dan terlibat dalam ibadah tersebut. Dalam percakapan pastoral, rupanya tak sedikit warga jemaat mempertanyakan di manakah Tuhan dengan kuasa-Nya yang diimani Maha dahsyat pada saat segenting itu. Tuhan dianggap diam dan membiarkan umat-Nya menderita.
Suasana batin akibat situasi kelam dan menekan semacam ini dirasakan pula oleh Habakuk. Dalam penglihatannya, Habakuk meratapi keadaan bangsa Israel yang terpuruk akibat penindasan bangsa Kasdim (ps.1). Ia melihat orang-orang fasik berjaya dengan menindas orang-orang benar, dan Tuhan membiarkan hal itu terjadi. Tuhan diam (1:13). Kesengsaraan bangsa Israel begitu menyakitkan hati Habakuk, tetapi ia pun tak berdaya untuk mengubahnya selain dengan meratap kepada Tuhan agar Tuhan bertindak mengubah keadaan itu (3:1-2).
Akan tetapi, dalam keadaan yang sangat kelam dan menekan itu, rupanya Habakuk tidak mau kehilangan kepercayaannya kepada Tuhan. Habakuk meyakini Tuhan sanggup melakukan perkara besar dan dahsyat (3:12-16). Kepercayaannya begitu kokoh, sehingga sekalipun segala hal yang baik lenyap, ia akan tetap memuji Tuhan.
Ayat 17 merupakan gambaran iman dan pilihan sikap Habakuk menghadapi situasi kelam yang menimpanya itu:
- Pohon ara merupakan simbol semua hal yang biasa dijumpai orang Israel di tanah Kanaan. Banyak orang menerima manfaat besar dari buah pohon ara. Akan tetapi, dalam situasi kelam rupanya pohon ara pun tak berbunga. Bila tak berbunga, pohon itu jelas tidak akan berbuah dan itu berarti tidak ada yang bisa diandalkan dari pohon itu (bdk. Mat. 21:19 saat Yesus mengutuk pohon ara). Bila sesuatu yang biasa ada dan hadir dalam hidup manusia lenyap, apakah kita bisa tetap bersorak-sorak memuji Tuhan? Habakuk memilih untuk bisa.
- Pohon anggur adalah simbol kemakmuran dan kesejahteraan bagi bangsa Israel (bdk. Yoh. 2:1-11 tentang perkawinan di Kana). Ketika pohon anggur tidak berbuah, maka tidak ada lagi kemakmuran dan kesejahteraan bagi bangsa Israel. Namun sekalipun kemiskinan menerpanya, Habakuk tetap memilih untuk percaya dan memuji Tuhan. Bagaimana dengan kita?
- Pohon zaitun adalah simbol kesukaan dan kehormatan bagi bangsa Israel (bdk. Hak. 9:9). Selain digunakan sebagai bahan bakar lampu di rumah-rumah maupun istana (Im. 24:2), para raja Israel pun diurapi dengan minyak zaitun. Ketika hal yang mendatangkan kesukaan sekaligus kehormatan harus hilang dari kehidupannya dan itu tentu mengecewakannya, Habakuk tetap akan bersorak-sorak bagi kemuliaan Tuhan. Bagaimana dengan kita?
- Kambing dan domba terhalau dari kurungannya, mungkin karena dirampok orang. Lembu dan sapi pun hilang lenyap akibat peperangan. Bahkan ladang pun tak lagi tergarap sehingga tidak menghasilkan apapun. Ini merupakan malapetaka besar, karena bagi bangsa Israel semua ternak dan ladang itu adalah tabungan dan jaminan kemakmuran hidup anak-cucunya. Di saat keadaan yang tampaknya tidak memberi harapan masa depan yang baik, Habakuk tetap akan memuji kebesaran Tuhan. Bagaimana dengan kita?
Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa ia tetap mampu memuji Tuhan dalam keadaan yang serba gelap dan bisa jadi madesu (masa depan suram) itu? Habakuk rupanya tetap yakin dan berpengharapan bahwa Tuhan adalah sumber keselamatannya (ay.18); satu-satunya yang bisa diandalkan.
Ayat 19 pun menegaskan keyakinan dan pengharapan Habakuk kepada Tuhan. Ia meyakini bahwa Tuhan akan membuatnya tetap kuat dan cekatan menjalani perjalanan hidupnya; seperti seekor rusa yang tidak akan terjatuh karena dikaruniai Tuhan kecekatan dan kekuatan menjejakkan kaki di bukit-bukit terjal berbatu. Habakuk yakin bahwa Tuhan pun akan memberikan kasih dan karunia agar ia tidak terjatuh dalam situasi dan kondisi apapun. Itulah sebabnya Habakuk bisa tetap memuji Tuhan dalam segala keadaan. Bagaimana dengan kita?
Dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang semoga segera berakhir ini, baiklah kita belajar pada Habakuk. Keyakinan dan pengharapan Habakuk tidak diletakkan pada situasi dan kondisi yang ada di sekitarnya. Ia tidak mengandalkan kekayaan, pengetahuan, relasi, status atau apapun yang ada di dunia yang mudah berubah ini. Satu-satunya yang ia andalkan adalah Tuhan, Juruselamatnya. Melalui teladan Habakuk, kita belajar bahwa tidak ada keuntungan dari sikap meratapi nasib buruk, mencari kambing hitam, menarik diri dari pergaulan/persekutuan, tidak produktif, dan bahkan jatuh dalam penghujatan terhadap Tuhan manakala harus berhadapan dengan situasi sulit dan kelam. Habakuk memilih untuk tetap menjaga hatinya agar tetap percaya dan mempercayakan diri pada Allah yang menyelamatkan. Oleh karena itu, ia bisa tetap memuji Tuhan. Baginya, entahkah ia berhadapan dengan situasi dan kondisi yang menyenangkan atau menguntungkan, maupun kelam, menekan, dan seolah tanpa harapan, ia tetap berpengharapan kepada Tuhan yang pasti menyelamatkannya. Bagaimana dengan kita? (JNM)
Pertanyaan Pendalaman:
- Apa yang membuat kita sulit memuji Tuhan dalam segala keadaan?
- Bagaimana kita dapat tetap memuji Tuhan dalam segala keadaan?