Ajarlah Kami/Saya Menghitung Hari

Oleh Pdt. Hariman A. Pattianakotta

Hari ini, 25 Mei 2020, ketika Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) merayakan Jubelium 70 tahun, saya mengingat-rayakan 11 tahun menjadi pendeta di Gereja Kristen Pasundan (GKP). Waktu memang bergulir cepat, walau sekarang terasa melambat akibat pandemi Covid-19. Situasi pandemik ini memberikan kepada kita kesempatan untuk memikirkan kembali pandangan dan kiprah kita di tengah dunia. Pasca pandemi nanti, tentu akan ada kejutan-kejutan baru dan lompatan-lompatan besar, sebabdunia dan relasi-relasi kita sudah dan akan terus berubah. Akan ada normalitas-normalitas baru. Apa yang dahulu kita tatap dengan curiga atau sambut dengan ragu, justru nanti akan menjadi kewajaran dan ukuran.  Akan menjadi janggal bila normalitas-normalitas baru itu tidak dirujuk dan dilakukan.

Sebagai contoh. Dahulu kita hanya terpaku pada ibadat ritual yang dibatasi dalam ruang dan waktu tertentu. Kini di era digital, ruang dan waktu telah direnggangkan, bahkan dihapus. Di mana saja dan kapan saja seseorang bisa mengikuti ibadat dengan siapa. Lebih jauh, digitalisasi ibadat itu telah melenturkan batas-batas denominasi. Gereja-gereja yang selama ini tersekat dalam batas-batas aliran denominasi, kesukuan, atau pun teritorial, dan “mengurung” warga jemaatnya dalam sekat-sekat tersebut, kini menjadi gereja yang tanpa tembok. Gereja-gereja dari berbagai aliran bisa diakses oleh siapa saja, dan ibadat mereka dapat diikuti oleh orang lain dari denominasi dan lokasi teritori yang berbeda. Teknologi digital membuat batas-batas denominasional dan teritorial itu meluruh.

Contoh lainnya adalah gerakan filantropis yang melanda dunia dan Indonesia di masa pandemi. Mereka yang dianggap kaum sekular begitu jor-joran menggelontorkan belas kasih kedermawanan, sama seperti kalangan agamis yang juga giat melakukan aksi karitas di masa pandemi. Banyak mata terbuka sekarang ini, dan menyadari bahwa semua manusia adalah sama. Apa pun latar belakang suku, agama, ras, pendidikan, status sosial, semua sama-sama rentan dan rapuh. Karena itu, solidaritas kemanusiaan dan semangat kolaborasi jauh lebih berarti daripada mengembangkan jiwa kompetisi di kalangan para rapuh.

Kita sebagai warga gereja juga semakin menyadari bahwa esensi bergereja adalah membuat manusia semakin manusiawi. Dan kemanusiawian manusia itu tumbuh dalam relasi dan solidaritas. Karena itulah manusia disebut sebagai makhluk sosial. Dengan begitu, adalah sebuah keanehan atau kebodohan bila nanti gereja atau agama-agama masih menjadi gereja dan agama yang tertutup, berwatak kompetitif dan ekspansif, saling mengalahkan dan menaklukan. Spirit triumfalistik ini sesungguhnya adalah cerminan dari jiwa yang hampa cinta. Bila gereja atau agama tumbuh tanpa cinta, maka gereja dan atau agama akan menjadi mesin bengis yang mendehumanisasi manusia dan merusak semesta.

Dalam masa sekarang ini, saya melihat bahwa pasca pandemi nanti, gereja-gereja memiliki kesempatan dan peluang besar untuk terus bertumbuh sebagai gereja yang sejati, yang hidup dengan harapan dan cinta kasih. Harapan ini mungkin, sebab gereja adalah milik Allah kehidupan yang terus memelihara dan memimpin dunia dengan kasih dan kreativitas, sehingga gereja-gereja akan mampu beradaptasi dalam situasi-situasi baru. Yang terpenting adalah gereja membuka diri terhadap inspirasi-inspirasi yang Allah hadirkan dalam masyarakat digital dewasa ini.

Teknologi digital yang berkembang pesat memang telah menciptakan dunia baru, dan pandemi Covid-19 memaksa kita untuk cepat-cepat masuk ke dalam dunia tersebut. Di situ, gereja, agama-agama, dan seluruh umat manusia dapat hidup berdamai dengan teknologi digital buatannya. Artinya, teknologi digital buatan tangan sendiri itu tidak dilihat sebagai musuh, tetapi dimanfaatkan dengan baik, supaya manusia semakin manusiawi, terhubung dalam relasi solidaritas yang konstruktif, dan dapat belajar bersama untuk saling menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan yang tumbuh dalam lokalitas-lokalitas global.

Tiga Kualitas Penting

Menjadi pendeta dan gereja dalam konteks masyarakat yang terus berubah dengan cepat dalam era industri digital dewasa ini tentu mensyaratkan beberapa kompetensi yang harus terus diasah. Pertama adalah spiritualitas. Ini adalah dasar dan roh kehidupan yang memberikan pencerahan dan pendalaman relasi dengan Allah dan sesama ciptaan. Manusia bukan hanya makhluk sosial, tetapi makhlukimago Dei. Manusia diciptakan dengan roh dan cinta yang membuatnya serupa dengan Allah. Ia adalah homo cordium, manusia cinta yang hidup dengan misi cinta Penciptanya. Dan, cinta tidaklah netral. Cinta selalu mengusahakan keseimbangan, karena itu sang pecinta harus mengambil posisi dan keberpihakkan. Dalam kesadaran ini, maka gereja dan pelayan (pendeta) harus selalu hidup dengan spirit preferential option for the poor, dan bukankah spirit ini yang dicontohkan Yesus?

Dalam masyarakat industri 4.0 atau 5.0, kesenjangan akan selalu ada, sebab semua orang tidak mempunyai kemampuan yang sama untuk mengakses sumber-sumber kesejahteraan dan kemakmuran. Di sinilah gereja dan pendeta seperti saya harus terus menghidupi spiritualitas cinta supaya bisa mengupayakan keseimbangan dan harmoni sesuai desain Sang Pencipta. Syaratnya adalah dengan tetap tinggal di dalam Sang Cinta itu sendiri, sehingga api Roh-Nya terus menerangi kita di jalan-jalan yang Ia kehendaki untuk ditapaki.

Kedua, gereja dan pendeta selalu memerlukan kemampuan dan kecakapan membaca tanda-tanda zaman, sehingga dari situ lahir tindakan-tindakan visioner yang relevan dan menuntun umat dan masyarakat ke masa depan. Era sekarang dan masaakan datang membuka kemungkinan dan kesempatan bagi setiap orang untuk belajar secara tak terbatas. Supaya bisa membaca tanda-tanda zaman, maka gereja dan pendeta seperti saya harus mau menjadi persekutuan dan pribadi yang belajar untuk mengembangkan kemampuan dan kecakapan.

Era digital mempermudah manusia dalam banyak hal, tetapi sekaligus menguak kompleksitas kehidupan dan problematika di dalamnya. Gereja dan pendeta perlu mengenali kompleksitas tersebut. Tentu, pendeta tidak harus tahu segalanya. Pendeta itu makhluk rapuh sama seperti yang lain. Ia memang memiliki kompetensi dasar di bidangnya, dan ia juga perlu belajar dari yang lain agar bisa menjadi pribadi waskita. Seorang pendeta dengan rendah hati harus mau belajar dari dan bersama yang lain, agar kemampuan dan kecakapan pelayanan terus berkembang. Dan di Universitas Kehidupan ini, ada sangat banyak ahli yang dari mereka kita bisa belajar. Ahli-ahli itu pasti ada juga di dalam gereja kita, meskipun mereka tidak selalu bertitel akademis tinggi. Supaya kita bisa saling belajar, maka gereja harus didesain sebagai komunitas  pembelajar. Di situ kita sama-sama belajar mencari dan memberlakukan kehendak Tuhan dalam dunia yang plural dan kompleks; dunia yang akan terus mengalami perubahan dengan kecepatan tinggi. Sehingga, tepatlah kalau orang percaya itu disebut sebagai murid-murid Kristus, sebab memang mereka harus terus belajar seperti seorang murid dari gurunya. Menurut saya, kita hanya akan bisa bertumbuh menjadi persekutuan dan pribadi yang kompeten, jikakita memiliki hati dan telinga seorang murid.

Ketiga, pendeta itu pelayan yang memimpin, maka tentu juga diperlukan kecakapan leadership. Saya membaca buku Sunjoyo (salah seorang dosen UK. Maranatha) mengenai Exceptional Leader-Managers. Menurutnya, pemimpin itu harus juga menjadi manajer, sehingga kepemimpinan transformasionalnya menjadi efektif dan efisien. Sebagai pelayan-pemimpin, seorang pendeta tentu diharapkan akan memandu jalan transformasi sebagai leader-manager. Namun, kepemimpinannya tidak tunggal. Ia memimpin bersama yang lain secara kolektif-kolegial.  Karena itu, selain spiritservant, pendeta juga harus mengembangkan spiritfriend atau sahabat. Friend leadership adalah spirit dan gaya kepemimpinan yang dibutuhkan dalam ziarah bersama menuju masa depan. Dan bukankah spirit itu juga yang dihidupkan Yesus? “Aku tidak lagi menyebut engkau hamba, tetapi sahabat,” kata-Nya.

Dengan menyadari keberadaannya sebagai pelayan-pemimpin yang bersahabat, pendeta tentu harus terus mengasah kemampuan stewardship/ penatalayanan, agar ia bersama yang lain dapat menata-kelola berbagai potensi yang dimiliki dan memanfaatkan peluang yang ada untuk bertumbuh bersama ke arah yang Allah kehendaki.

Yang Allah rancangkan dan kehendaki adalah bonum commune, kebaikan bersama. Alkitab menggambarkan situasi tersebut dengan satu kata padat makna: syalom. Supaya syalom itu bisa terjadi, maka sangat diperlukan kepemimpinan yang efektif, efisien, transformatif, dan partisipatoris. Dan tentu saja pemimpin juga harus bisa ditiru karakternya, sehingga ia harus bertumbuh dengan integritas. Pemimpin harus hidup dalam firman Allah, inspirasi sejati dari Sang Pemimpin sejati. Kekuatan firman dalam karakter inilah yang akan meluaskan pengaruh leadership seorang pendeta dan pemimpin lain secara efektif, efisien, dan berdaya transformatif.

Jadi, dibutuhkan kedalaman spiritual, keluasan wawasan, dan kekuatan karakter untuk bisa memengaruhi dan menentukan arah kehidupan di dunia digital  dan perubahan yang berlangsung cepat dewasa ini. Dan, bukankah gereja ditugaskan untuk menjadi garam dan terang dunia? Mandat tersebut akan mampu ditunaikan jika tiga kualitas tersebut dimiliki oleh pemimpin-pemimpin gereja dan semua orang percaya.

Ajarlah Kami/Saya Menghitung Hari

Dalam usia pelayanan yang sudah menginjak  11 tahun, sebagai seorang pendeta (GKP) yang kini bertugas sebagai pendeta Universitas Kristen Maranatha, saya menyadari banyak sekali keterbatasan dalam tiga kualitas di atas. Karena itu, seperti pemazmur, saya pun berdoa memohon hikmat-bijaksana dari-Nya. Ajarlah kami/saya menghitung hari-hari kami/saya sedemikian rupa, sehingga kami/saya memperoleh hati yang bijaksana. Itu berarti harus ada instrospeksi, evaluasi, revisi, bahkan mungkin perlu revolusi. Kemauan dan tekad untuk mengubah apa yang memang harus diubah dan menerima dengan sukacita apa yang tidak bisa kita diubah adalah hikmat-bijaksana yang dibutuhkan oleh setiap orang.

Perubahan akan terus terjadi, dan hal itu tidak pernah bisa kita bendung. Bahkan, semakin hari perubahan terasa semakin cepat. Siapa tidak mau berubah, maka ia akan digilas oleh perubahan itu sendiri. Gereja pun demikian. Jika gereja tidak berubah, maka gereja akan ditinggalkan oleh anak-anaknya sendiri. Dengan demikian, keberadaan dan ministri atau pelayanan gereja harus terus ditransformasi. Hal ini sesuai dengan semangat reformasi gereja: ecclesia reformata semper reformanda, gereja reformasi yang terus menerus diperbarui.

Di masa pandemi ini kita sudah belajar bahwa bukan kontestasi yang dibutuhkan, tetapi kolaborasi. Saya bersyukur melayani di UK. Maranatha sekarang ini, karena bisa sedikit “berjarak” dari kehidupan harian lembaga gereja, dan belajar dari para akademisi. Saya semakin tercelihkan bahwa gereja dan universitas perlu bersinergi untuk membangun kehidupan publik demi bonum commune. Bahkan, kolaborasi itu mesti terus diperlus menjangkau komunitas-komunitas publik lain. Gereja tidak bisa melayani dunia/publik seorang diri. Demikian juga dengan Universitas. Pendeta tidak bisa sendiri, pun dosen dan akademisi. Sama seperti pemimpin yang butuh rakyat, vice versa rakyat butuh pemimpin. Kita harus bersinergi membangun kehidupan bersama, di mulai dari tanah air kita Indonesia, sebab di sinilah Tuhan melahirkan dan menempatkan kita.

Hari ini kita bersyukur juga atas jubelium 70 tahun PGI. Selamat untuk PGI dan umat Kristen Indonesia. Lembaga gereja ini terbentuk dalam dua spirit besar, yakni oekumenis dan nasionalis. Dari situ kita belajar bahwa spirit mengesa dari gereja-gereja berkelindan dengan semangat membangun bangsa. Keduanya saling melengkapi dan tidak bisa dilepas-pisahkan. Gerak oekumenis harus mewujud dalam kolaborasi gereja-gereja bersama seluruh kompenen anak bangsa untuk membangun rakyat dan negara Indonesia. Inilah yang disebut sebagai oekumene dalam aksi. Jadi, tidak cukup secara verbal kita berkata bahwa gereja itu tubuh Kristus yang esa.  Keyakinan iman itu harus pula terimplementasi dalam karya. Karena itu, spirit kerja sama yang terbangun di masa pandemi mesti kita teruskan di masa pasca pandemi, dan untuk setrusnya dan selamanya.

Dengan spirit kolaborasi itu, gereja-gereja harus semakin tangkas dan mengubah orientasi. Sama seperti Universitas, gereja bertugas untuk membangun manusia dan merawat kehidupan dalam semesta ciptaan Tuhan. Karena itu, fokus gereja adalah pengembangan sumber daya manusia. Di situ gereja perlu membangun kerjasama dengan Universitas. Kita mendamba lahirnya insan-insan yang tingi iman, ilmu, dan pengabdian. Karena itu, profil inilah yang harus menjadi fokus pelayanan gereja, bukan membangun gedung-gedung gereja yang megah. Dunia digital sekarang ini membuat tanpilan gedung yang megah kehilangan pesona dan arti. Maka, era digital ini menjadi momentum untuk kita kembali membangun manusia: warga jemaat dan warga masyarakat. Mereka tidak hanya membutuhkan ibadat ritual, mereka juga memerlukan nasi, kesehatan, dan pendidikan. Ke situlah gereja mesti berjibaku, berjuang bersama dalam suka-duka umat/masyarakat dengan karya-karya menisterial yang kontekstual dan transformasional.

Semua itu tidak mudah, tetapi pasti bisa! Sebab, hal itu bukan hanya cita-cita kita. Harapan  itu adalah mandat Allah kehidupan. Ia yang memanggil kita semua. Ia juga yang memanggil saya 11 tahun yang lalu. Dalam segala kerapuhan serta maju-mundurnya kehidupan saya dalam menunaikan pelayanan, jawaban yang saya ikrarkan dengan pikiran dan rasa yang campur aduk di kala itu masih terngiang jelas: “Ya, saya percaya, mengaku, dan berjanji.” Setelah 11 tahun berselang, janji itu masih saya pegang oleh karena anugerah-Nya. Situasi sekarang jelas berbeda dengan suasana 11 tahun lalu. Namun, janji penyertaan Tuhan tidak pernah berubah. Sayalah yang harus berubah, dan mungkin Anda juga. Kitalah yang harus belajar berubah, melakukan introspeksi dan revisi (bahkan mungkin revolusi?), serta aktif membangun kolaborasi untuk menghadirkan cinta-Nya dalam kehidupan.

Terimakasih Tuhan untuk penyertaan serta berbagai nikmat dan berkat-Mu. Terpujilah nama-Mu dan terangkatlah harkat manusia ciptaan-MU.

Penulis adalah pendeta GKP yang bertugas sebagai pendeta Universitasdi UK.Maranatha