ISTILAH “RATIFIKASI” DALAM TATA GEREJA/PERATURAN PELAKSANAAN TATA GEREJA GKP

Oleh Pdt. Em. Weinata Sairin

Dalam buku “Himpunan Naskah Tata Gereja -Gereja Kristen Padundan 1916-2007” yang saya edit tanggal 7 November 2014, istilah ratifikasi bisa ditemukan dalam dokumen PPTG GKP Tahun 2002, Pasal 65 ayat (3). Bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:
“Hasil konvent pendeta mengikat
seluruh bagian GKP sampai dengan mendapat ratifikasi Sidang Raya Sinode GKP”.

Istilah ratifikasi kemudian tidak ditemukan lagi dalam TGPPTG GKP baik dalam konteks konvent pendeta maupun dalam konteks lainnya.

Apa sebenarnya makna kata “ratifikasi”. Menurut KBBI, ratifikasi adalah pengesahan sebuah dokumen negara oleh parlemen khususnya pengesahan UU, perjanjian antarnegara dan persetujuan internasional.
Misalnya perjanjian internasional yg disetujui di level PBB, belum bisa di eksekusi di Indonesia jika naskah perjanjian tsb belum diratifikasi oleh parlemen Indonesia.
Makna lain dari kata “ratifikasi” menurut KBBI adalah menandatangani,mengesahkan perjanjian.Dalam naskah TG PPTG GKP, pasca 2002 itu digunakan istilah “ditetapkan” dan atau “disahkan”.

TG PPTG GKP 2008 menggunakan 2 istilah itu secara bergantian sebagaimana tertuang dalam PPTG GKP Pasal 48 ayat (4) dan (5). Hal yang amat menarik dan konstruktif adalah kedua ayat tersebut di atas menggunakan diksi “mengikat” yang adalah terminologi hukum. Pasal 48 ayat (4) berbunyi :
“Hasil Konven Pendeta mengikat seluruh bagian GKP setelah ditetapkan dalam Rapat Kerja Sinode terdekat sebagai Konvensi GKP”.

Dalam PPTG 2020 istilah “mengikat” yang berkonotasi hukum/legal itu tidak digunakan lagi. Rumusannya berbunyi ” Majelis Sinode menyampaikan hasil konven kepada Rapat Kerja Sinode untuk disahkan menjadi konvensi GKP” (PPTG GKP 2020 Pasal 76 ayat (ayat 3 butir e).

Mengapa istilah “ratifikasi” tidak digunakan lagi, mengapa kata “mengikat” tidak muncul lagi padahal dimensi kemengikatan,aspek “kesatutubuhan” amat penting dalam merawat sebuah komunitas? Jawab dari pertanyaan ini bisa dicek dalam naskah Notulen dan Keputusan Sidang Sinode 2002-2020. Mahasiswa STT atau para mahasiswa S2, para kandidat doktor teologi bisa menjadikannya sebagai kajian studi mereka sehingga perubahan dalam pemilihan kata itu mendapat argumentasi (teologis) yang kukuh dan bukan karena “mood“, dan atau abai terhadap makna kata.

Apa makna praktis dari diksi “ratifikasi”,” disahkan”, “konvensi”itu?
Ini gambarannya, misal Konven pendeta GKP membahas sebuah isu/topik teologis, misalnya Perjamuan Kudus untuk Anak(PKA).
Konven misalnya menyetujui pelaksanaan PKA itu. Maka pendeta dan Majelis Jemaat tidak boleh menerapkan/keputusan itu di Jemaat. Pendeta tidak bisa apalagi misalnya dengan kepongahan teolog memaksakan pelaksanaan itu di Jemaat. Hasil konven tersebut mengikat apabila dalam Rakersin atau Sidang Sinode terdekat sesudah Konven itu, MS membawa hasil konven itu (seluruhnya atau dipilah sesuai dengan urgensinya, untuk dibahas dan di sahkan sebagai Konvensi yang harus dilaksanakan di seluruh bagian GKP.

Tentu saja para pendeta harus menjelaskan semua proses itu kepada MJ dan warga Jemaat agar mereka memiliki kesamaan pemahaman dengan Majelis Sinode/pendeta.

Dari uraian pendek ini maka jelas bahwa pelaksanaan hasil konven pendeta tidak berlangsung otomatis, tapi melalui proses dan prosedur tetap dan baku yang diatur dlm TG PPTG GKP.

Diperlukan kajian kritis terhadap TGPPTG GKP, mencermati isinya, istilah, aspek bahasa dan hukum sehingga dokumen TGPPTG GKP benar-benar bisa membantu meningkatkan pelayanan GKP.

Menurut catatan saya dalam Rakersin terakhir telah diputuskn perlunya dilakukan revisi terhadap TGPPTG GKP 2020.

Saya pribadi berkomitmen, sebelum mengakhiri kefanaan ini, rindu buku Himpunan TG dan PPTG GKP dapat terbit sehingga bisa ikut membantu GKP dalam mewujudkan pelayanannya menjadi lebih maju dan berkualitas. Semoga.

Jakarta, 22 Maret 2021/5.45
Pdt. Em. Weinata Sairin (72+7bln) Jakarta