Selamat pagi, bapak-ibu, opa-oma, mas-mbak dan Saudara-saudaraku yang baik. Cinta kasih Tuhan itu berkesinambungan, dari semalam hingga kini kasih Allah terus hadir. Kita bersyukur dan berterima kasih kepada-Nya.
Oleh Pdt. Supriatno
Firman Tuhan hari ini diambil dari, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Galatia 3:28
Saudaraku, manusia adalah ciptaan Tuhan. Apapun keyakinan yang dipeluk, suku, kebangsaan, adat kebiasaan yang berbeda-beda, tidak ada yang berani membantah bahwa Pencipta manusia itu sama dan esa, yaitu Allah. Sebagai orang Kristen kita bisa temukan ihwal penciptaan manusia. Tegas dan jelas, Alkitab memberi kesaksian bahwa manusia dan makhluk hidup semuanya diciptakan Allah.
Dengan demikian, jangan coba-coba kita mengatakan hanya kitalah ciptaan Tuhan. Keperbedaan antar manusia tidak boleh melahirkan pandangan bahwa kita ciptaan Tuhan, entahlah yang lain. Pengakuan sempit itu masih ada. Dan gampang ditemukan. Terutama didasarkan karena berbeda agama. Orang di luar dirinya disebut kaum kafir. Atau menyebut mereka masih hidup dalam kegelapan.
Jangan diestafetkan dan dilestarikan sejarah manusia saling bertikai karena pengakuan sempit dan fanatik. Sebab, dari pengakuan demikian itulah konflik diawali dan permusuhan disulut. Semestinya bahasa agama menjadi perekat kemanusiaan, bukannya dipakai untuk membenarkan diri lalu menyalah-nyalahkan yang lain. Coba saja buka telinga lebar-lebar. Ternyata masih laku ungkapan, yang bikin bulu kuduk kita berdiri. Masih ditemukan bahasa agama yang tidak mengapresiasi keyakinan dan agama berbeda yang dipeluk orang lain.
Bahasa agama adalah bahasa kasih yang mempersatukan antar manusia. Siapapun manusia itu. Bahasa agama yang membuat kita bergidik, jangan-jangan penodaan agamanya sendiri oleh umatnya sendiri. Karena, bagaimanapun kita berasal dari ‘rahim’ yang sama. Dan Tuhan Pencipta kita menciptakan manusia untuk saling mengasihi dan menyayangi.
Oleh karena itu, kita tidak boleh hidup terkotak-kotak. Kotak suku yang sama. Kotak agama yang sama. Kotak hobi yang sama. Lalu, mengisolir dari yang lain. Tentu, banyak orang tidak suka ada orang tua yang mencari indekos buat anaknya berjumpa dengan tulisan “tidak terima yang non…”. Atau perumahan yang penghuninya hanya dikhususkan buat pemeluk agama tertentu.
Agama jangan dijadikan tembok yang memisahkan, seharusnya jembatan yang mempertemukan. Atau, agama mengkotak-kotakan manusia sehingga bisa saling curiga dan berprasangka. Toleransi adalah menghayati sepenuhnya keimanannya, seiring dengan itu respek atas pihak lain. Kekristenan menopang sikap toleran.
Saudaraku, dalam surat Galatia, seperti yang kita kutip di atas. Itu nasihat sekaligus peringatan. Yakni bergaul itu dengan orang dari suku mana saja dan menganut agama apa saja. Gender apa saja. Status apa saja. Orang Yahudi jelas berbeda dengan orang Yunani. Kebangsaannya beda. Kebiasaannya tidak sama. Beragamanya pun waktu itu satu sama lain berbeda.
Orang kristen harus hidup membaur. Kita dipanggil bersahabat dan membangun persaudaraan dengan yang berbeda itu. Terus-terang, orang kristen tidak boleh merasa paling benar, paling selamat, paling hebat. Sebab, ungkapan demikian bernada merendahkan yang lain, yang berbeda. Dan itu bisa menjadi tembok. Menghalangi kita berteman secara tulus dengan yang lain. Betul. Kita yakin di dalam Yesus ada keselamatan. Tuhan Yesus adalah Jalan, Kebenaran dan hidup kita. Tapi, ungkapan bernada kesombongan dan merendahkan yang lain tidak diajarkan Kristus sendiri.
Kita ingat nasihat lama, ”belajarlah dari padi. Makin berisi makin merunduk”. Jadi, makin beriman harusnya semakin rendah hati dan semakin terbuka. Terbuka untuk berteman. Terbuka untuk bersaudara. Tidak makin tertutup dan takut dengan yang berbeda.
Tidak mungkin kita bisa hidup tanpa saudara kita yang berbeda iman. Belanja sayur, pedagangnya orang muslim. Mengisi bensin, operatornya orang muslim. Presiden kita orang muslim. Syukurlah, di tengah situasi penuh tantangan sekarang ini, orang bahu-membahu dan saling tolong-menolong. Dan semua bergandengan tangan dengan tidak merisaukan keperbedaan keyakinan dan agama.
Saudaraku, bahaya kesombongan rohani adalah bahaya yang harus diwaspadai. Senin ini, kita berkomunikasi dengan siapa pun partner kerja kita, tetangga kita, teman seperjalanan kita. Dengan jiwa bersaudaralah pilihan terbaik kita hidup bersama orang lain yang berbeda. Dan itulah, kesaksian kita.
Kita berdoa, “Tuhan bangsa kami beragam suku, budaya, agama dan kehidupan tiap orangnya. Semoga ini membuka kesadaran kami dan seluruh bangsa kami untuk saling menghormati hak masing-masing. Demikian juga kesadaran kami, sebagaimana sikap Kristus yang mengasihi setiap manusia ciptaan-Nya.”
Kami berdoa buat para Oma-opa dan lansia yang kondisi tubuhnya memerlukan topangan kekuatan dari Tuhan. Kiranya mereka mampu bersabar di dalam Tuhan.
Berkati keluarga kami agar hari ini, kami saling mencintai dan ramah terhadap satu sama lain. Dalam nama Kristus, kami berdoa. Amin.