Oleh Novembri Kristianto
Pemerintah memberikan bagi-bagi sembako gratis untuk rakyat miskin. Tapi banyak sekali yang salah sasaran. Mereka yang bisa dibilang dari kalangan menengah tetap mendapat bantuan.
Anehnya mereka yang menerima nyaman-nyaman aja tuh mendapatkan sembako gratisan buat rakyat miskin. Bahkan ada yang sampai protes karena tidak kebagian, padahal perekonomiannya tidak terlalu berdampak parah. (berkurang drastis sih pasti, tapi nggak sampe jadi kesulitan makan tiap hari).
Ini yang kusebut mental gratisan.
Waktu masih kecil setiap kali ada hari istimewa, seperti hari Natal, atau bertepatan dengan hari ulang tahun, aku selalu didorong oleh beberapa om atau tanteku untuk minta hadiah ke saudara yang lain; “tuh, minta sama Om A, duitnya banyak”, atau: ” Cepat minta, Tante B baru gajian..”, dan nyatanya memang seringkali aku mendapatkannya.
Tanpa disadari semakin tumbuh dan berkembang, kenikmatan mendapat hadiah cuma-cuma jadi sebuah candu yang diterima tanpa rasa bersalah.
Apa yang salah? Namanya juga dapet gratis. Dapet hadiah. Nggak salah dong..
Cara pikir ini membuatku mulai merasa memang ada yang salah. (Setidaknya menurutku)
Ketika akhirnya tiba saat aku bisa beroleh sesuatu dari hasil usahaku, ternyata ada kepuasan tersendiri. Ada usaha didalamnya. Jeri payah yang beroleh apresiasi. Pengalaman yang terdokumentasi. Ilmu bertambah, kebanggaan atas diri sendiri membesar.
Aku mulai sadar. Sifat lebih suka diberi membuat diri kita lemah dalam berusaha, merasa kurang bersyukur, atau merasa miskin.
Ketika seseorang menerima sesuatu tanpa usaha tetapi merasa tidak ada yang salah dengan itu, maka ia sedang menumpulkan kerja pikir kepalanya.
“Ah, sok kaya lu!”
Nggak bro!
Berusaha menolak pemberian cuma-cuma akan mengajarkan kita bahwa semua memang perlu usaha sehingga menjadi adil.
Ada buruknya? Tentu ada sisi negatif dari cara pikirku ini.
Ketika ada tukang parkir yang tiba-tiba muncul minta uang parkir, padahal sebelumnya nggak ada, aku merasa geram. (Tetap ngasih, tapi nggak rela!). Aku merasa cara kerjanya tidak sesuai dengan cara pikirku. Dia lebih seperti tukang minta-minta daripada penjaga parkir. Orang ini tidak mengerjakan bagiannya. Uang dua ribu perak jadi sangat berharga buatku. (Dibilang pelit juga gpp, bodo amat.)
Apa aku menolak pemberian gratis atau hadiah? Tergantung.
Setiap hal yang kita terima punya motif tersendiri. Jika sifatnya apresiasi dan nilainya wajar (sesuai UU KPK 😁) akan tetap diterima, jika punya tendensi akan dipertanyakan. Ketika sahabat memberi hadiah karena ucapan “selamat” atas sesuatu yang masih wajar, itu apresiasi. Itu adalah rasa kasih yang diwujudkan dalam bentuk hadiah. Tetapi pemberian gratis yang sifatnya “bantuan”, aku berusaha bilang Nggak! (Berusaha loh ya.. Karena memang jujur.. Dapet gratisan itu enak buanggeeed).
Yang jadi poin ku, setidaknya aku sadar ada yang salah dengan kita yang senang menerima bantuan gratis.
Jika kita punya kedua tangan dan kaki yang masih kuat tetapi membiarkan diri kita digendong oleh orang lain, semua jadi terasa kita menyiakan kemampuan diri sendiri. Kurasa itu berdosa.
Tiba-tiba aku jadi berpikir lebih luas lagi. Mengapa Indonesia kesulitan memberantas praktik korupsi? Ya karena mental miskin seperti ini. Padahal penghasilan sudah cukup, bahkan kalo dibuat beli nasi padang sederhana sehari bisa makan buat 10 keluarga, tapi kok ya masih korupsi.
Istilah Indonesia adalah negara yang kaya jadi seperti sebuah dongeng, padahal emang beneran kaya. Tapi manusia-manusia nya nggak mau berbagi. Merasa kurang terus harta dan kekuasaannya. Dan ini menurun ke lapisan paling bawah juga. Sampe tukang parkir! Sampai ke kita juga!
Apa aku akan korupsi, jika jadi anggota parlemen? Mungkin juga! Jika terlena.
Sok kaya jangan, tapi punya mental orang kaya itu harus! Mental lebih suka memberi daripada menerima. Karena Tuhan memang sudah menyediakan semua. Coba sadari lagi. Lihat ke bawah.
Karena jika kita merasa miskin, maka kita akan merasa kekurangan terus.
Dalam Alkitab sendiri ada ditulis dalam Mazmur 37:25;
“Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta”.
Dengan berpegang pada janji Tuhan itu, aku mencoba menjalani hidup. Sulit? Banget! Masih sering ngaco? Masih! Aku nggak naif.
Setidaknya terus berusaha.
Terakhir, ada sebuah kutipan dari Martin Luther King Jr yang bilang begini:
“Jika Anda tidak dapat terbang maka berjalanlah, jika Anda tidak dapat berjalan maka merangkaklah, namun apapun yang Anda lakukan Anda harus tetap bergerak maju.”
Tetap berusaha sebaik mungkin sampai akhirnya tidak mampu lagi dan baru kamu merasa berhak menerima bantuan orang lain.