Oleh Pdt. Supriatno
Bacaan: 1 Yohanes 3:18
Selamat pagi, ibu-bapak, mbak-mas, oma-opa dan Saudara-saudaraku yang baik. Semoga pagi ini, seluruh organ tubuh kita berfungsi. Jika pun kita tengah menderita sakit, Tuhan memberi kesabaran dan daya tahan menanggungnya. Untuk itu, kita patut tetap mengucap terima kasih kepada Allah.
Firman Tuhan yang hendak kita renungkan adalah “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.” 1 Yohanes 3:18
1 Yohanes 3:18
Saudaraku, pernahkah berjumpa dengan seseorang yang piawai dalam berkata-kata? Orang yang bisa membuat banyak orang terpukau dengan ketrampilan berbicaranya. Cakap merangkai kata. Telinga kita pun bersemangat untuk mendengar. Dan pikiran kita dengan mudah mencerna isi pesannya.
Ada memang tipe orang yang sungguh pandai mengolah ide dan menyampaikannya dengan kemasan sangat menarik. Tentu tipe seperti itu bagus bagi mereka yang mempunyai profesi yang berbicara di depan publik. Dosen, pembawa acara (MC), pengkotbah, presenter, membutuhkan kepandaian berbicara. Sebab, dengan itu bisa membuat para audiensnya betah mengikuti acaranya.
Ada lagi, orang pandai bicara, yang sayangnya, dikategorikan negatif. Orang yang hebat bersilat lidah. Yakni orang menyebutnya “pembual”. Bicaranya bisa menarik. Ucapannya memukau. Tapi, sayang, lebih banyak menyampaikan hal-hal tanpa didukung fakta.
Jika ada orang bicara dengan mengaku bahwa dia bersahabat dengan tokoh elit dan para selebritis terkenal. Tentu, kita bisa tertarik mendengar kisahnya. Lebih menarik lagi jika dia bicara bahwa dia penasihat pribadi presiden, dan tiap hari mendampingi presiden. Pasti makin banyak telinga yang ingin mendengar karena penasaran. Namun, jika kita tahu siapa dia sebenarnya, yang cuma mengarang tanpa fakta. Tentu, spontan orang yang mendengarnya berkata, “ah, dia pembual”.
Saudaraku, kita atau orang lain bisa sesumbar menyatakan bahwa kita orang penuh kasih kepada sesama. Kita bisa bercerita dari A sampai Z bertutur tentang indahnya kasih. Namun, jika itu sebatas cerita dan perkataan, tanpa disertai bukti konkrit. Ucapan minus tindakan. Maka, bisa dinilai bualan belaka.
Apa artinya, kita mengatakan kita mengasihi ibunda atau ayahanda kita? Sementara itu, mereka sakit dan dirawat di rumah sakit kita tidak pernah menginjakkan kaki mengunjunginya. Apa maknanya, kita kerap melontarkan ucapan mengasihi anak? Sedangkan kita tidak mau duduk dan mendengarkan keluhannya dengan serius dan empati.
Itu yang jadi sasaran pengingatan firman Tuhan. Mengaku mengasihi, nyatanya berhenti pada kata-kata belaka. Bagaimanapun, kasih itu seyogyanya tindakan. Aksi yang dirasakan.
Firman Tuhan pagi ini konteksnya ada orang yang hidupnya disertai kemakmuran. Sementara itu hadir pula di sana orang yang kesulitan ekonomi. Untuk itu, orang yang berharta tidak cukup hanya mengatakan bahwa mereka mengasihi orang-orang yang ditimpa kemalangan. Perlu aksi yang konkrit. Buka hatinya. Agar hati yang pemurah mengalirkan bantuan kepada yang lain.
Sama dengan kita berdoa untuk saudara-saudara yang kena dampak covid-19. Mereka yang kena PHK, dirumahkan, tutup jualan karena sepi pembeli. Tidak cukup kita berhenti sebatas doa. Doa tidak boleh mewakili tanggung jawab tindakan kasih. Doa itu penting sekali. Namun, doa tidak boleh menghentikan aksi kasih yang nyata. Doa adalah awal dari aksi kasih yang nyata.
Saudaraku. Ucapan bibir tidak boleh menggantikan aksi nyata untuk membantu. Musti disertai langkah-langkah perbuatan konkrit. Sehingga kita menggenapi ungkapan “ora et labora”. Ada doa dan ada kerja nyata.
Kita berdoa, “Tuhan, kiranya saat kami melangkah menjalani hidup ini, dengan aksi kasih yang nyata.
“Ya, Tuhan berkati aktivitas kami masing-masing Kiranya bukan hanya menjadi berkat bagi kami, juga menjadi berkat buat keluarga, teman, gereja dan sesama kami.
Inilah, doa kami Tuhan. Dengarlah dan kabulkanlah. Amin.