Oleh Pdt. Hariman Pattianakotta
Covid-19 yang mengguncang dan menggebuk manusia di berbagai belahan dunia berdampak pada banyak instansi dan aspek. Covid-19 bukan hanya menjadi masalah kesehatan, tetapi masalah kehidupan, sebab hampir semua aspek terdampak.
Gereja adalah salah satu instansi atau persekutuan yang terkena imbas Covid-19. Ibadat-ibadat ragawi yang biasa dilakukan secara terpusat di gedung-gedung gereja, kini dilakukan di rumah masing-masing. Yang paling fenomenal adalah ibadat on line atau daring. Covid-19 mempercepat gereja-gereja masuk ke dalam kehidupan masyarakat industri 4.0. Ibadat atau persekutuan yang dilakukan secara daring dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi telekomunikasi itu, kini mulai dinikmati sebagai new normal. Anak-anak milenial, khususnya mereka yang hidup di perkotaan, mungkin lebih suka dengan model ibadat dan persekutuan yang demikian.
Jika kita mengikuti ibadat yang berlangsung secara virtual atau daring, sebenarnya tidak ada yang berbeda secara signifikan dengan model ibadat yang biasa dilakukan pada masa sebelum pandemi. Ibadat ragawi di gedung gereja hanya dipindahkan ke dalam dunia virtual, yang tentu meniadakan kontak fisik. Namun, berbagai unsur ibadat tetap sama. Firman yang ditaburkan juga sama. Lantas, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah pasca Covid-19 ibadat daring ini bisa tetap dipertahankan?
Menurut saya, ibadat daring ini bisa terus dilanjutkan sebagai new normal, namun bukan untuk menggantikan ibadat ragawi yang dilakukan di gedung gereja. Siaran langsung bisa tetap dipertahankan bagi mereka yang tidak sempat datang beribadat di gedung gereja karena alasan-alasan tertentu, seperti sakit, usia lanjut, atau sedang berada di luar kota. Lebih menarik lagi, ibadat ini bisa mengatasi kesulitan jemaat-jemaat yang sukar membangun gedung gereja, misalnya karena tidak mendapat ijin dari lingkungan dan sulit menembus birokrasi yang kadang membebek pada desakan para perusuh dan pengganggu kebhinekaan.
Dalam komunitas Kristen perdana yang sulit beribadat karena dihambat, mereka beribadat di rumah-rumah secara sembunyi-sembunyi. Bahkan, ada yang beribadat di gua-gua dan katakombe atau kuburan. Mereka bertemu beberapa saat, membaca firman dan berdoa, kemudian kembali ke dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan ibadat yang sejati.
Dengan kecanggihan teknologi di masa sekarang ini, kita bisa bersekutu bersama, berdoa dan membaca Alkitab untuk saling meneguhkan, kemudian kembali ke dalam ibadat harian. Dalam ibadat harian itu, pasca pandemi tentu saja, kita tetap bisa saling berkunjung, saling peduli dan berbagi. Sebab, gereja itu bukan persekutuan seminggu sekali. Persekutuan gerejawi itu tentang hidup bersama (koinonia) di tengah suka dan duka yang dijalani dalam ikatan kasih sayang Allah Tritunggal. Inilah arti esensial dari persekutuan kristiani.
Jadi, kalau kita beribadat di gedung gereja seminggu sekali tanpa pemahaman yang esensial dan penghayatan akan makna persekutuan itu, maka tidak ada artinya ibadat yang dilakukan. Ibadat tersebut tidak ada ubahnya dengan kerumunan yang ramai sesaat, lalu lenyap dalam keseharian.
Ibadat ritual, baik yang dilakukan dan diikuti secara ragawi atau virtual harus semakin meneguhkan orang percaya untuk menghidupi persekutuan, pelayanan, dan kesaksian dalam hidup harian. Jadi, bukan soal forma atau bentuk/cara, tetapi tentang esensi dan dampak dalam hidup sehari-hari. Itu berarti, ibadat ritual harus terhubung dan saling menguatkan dengan ibadat harian, seperti refleksi dan aksi yang tidak bisa dilepaskan satu dari yang lain. Tanpa ibadat harian, ibadat ritual akan garing. Vice verca, tanpa ibadat ritual, yang harian pun akan kering.
Dalam ibadat harian, kita menerjemahkan firman dalam laku hidup sehari-hari melalui kata dan perbuatan. Kita memperlihatkan kasih, kepedulian, kebenaran, dan keadilan bersama dan untuk sahabat, tetangga, bahkan orang asing. Sama seperti yang dilakukan oleh orang Samaria yang murah hati.
Old Normal Menjadi New Normal
Satu hal lagi yang menarik di masa Covid adalah tindakan-tindakan filantropis. Gereja-gereja tidak asing dengan tindakan kedermawanan membagi-bagikan sembako, obat-obatan, dan berbagai kebutuhan lain. Aksi filantropis itu dikenal dengan sebutan diakonia. Sejatinya, diakonia bukan tindakan sewaktu-waktu dari gereja, tetapi identitas dari gereja itu sendiri, sebab Allah di dalam Yesus Kristus hadir sebagai Diakonos Agung. Karena itu, jika gereja menyebut Yesus sebagai Guru dan Tuhan, maka karya pelayanan diakonal Yesus Kristus itu tersemat sebagai identitas yang harus terus dilakukan gereja dalam karya-karya ministerial di sepanjang waktu dan zaman.
Pandemi Covid-19 kemudian memaksa gereja-gereja untuk memikirkan dan melakukan karya diakonia secara lebih bersungguh-sungguh. Sebab, di situ terletak “keselamatan” bersama. Diakonia yang dilakukan tidak terbatas pada kehidupan internal saja, tetapi terbuka secara eksternal. Dalam tindakan diakonia, gereja membagi kasih Kristus yang tak terbatas bersama dan untuk sesama.
Lebih jauh, karya diakonia pun tidak terbatas pada tindakan karitatif yang bersifat jangka pendek, tetapi juga terarah ke depan untuk jangka panjang. Karena itu, diakonia gereja harus pula bersifat reformatif dan transformatif. Artinya, ia menjadi karya yang memberdayakan dan membebaskan. Dan di situ, gereja kemudian dapat berperan sebagai sentra-sentra ekonomi dan bertindak layaknya lembaga-lembaga advokasi. Kalau kita menilik sejarah, hal-hal ini bukan barang baru. Tradisi di banyak gereja memperlihatkan karya-karya semacam itu di berbagai tempat dan waktu.
Tradisi dan kebiasaan tersebut kini kita “temukan” lagi urgensinya di masa Covid-19. Situasi ini mendorong kita untuk memikirkan dan mempraktikkannya secara lebih serius, sebab dampak Covid menerpa hampir seluruh aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Maka, kita “dipaksa” oleh kondisi ini untuk membuat old normal menjadi new normal sesuai dengan kebutuhan konteks masa kini.
Menjadi Gereja Tua Baru
Bertolak dari kebiasaan dan tradisi yang selama ini sudah dilakukan oleh gereja-gereja dengan kadar dan keterbatasan yang ada, saya merasa optimis bahwa gereja akan lebih mampu menghadapi situasi pandemi dan pasca pandemi nanti. Apalagi, untuk gereja-gereja yang selama ini disebut dengan istilah gereja tua, atau gereja mainstream, atau gereja tradisional. Mengapa? Alasannya adalah karena gereja-gereja tua ini mempunyai tradisi panjang yang sudah teruji dan terus berkembang di dalam sejarah.
Diana Butler Bass dalam bukunya Practicing Congregation mengemukakan bahwa tradisi berperan besar dalam proses revitalisasi sebuah jemaat atau gereja. Tradisi itu ia ibaratkan sebagai dasar, tempat di mana kita berdiri. Untuk bisa melangkah lebih jauh dan melakukan hal-hal yang bermakna, kita selalu membutuhkan dasar. Akan tetapi, tradisi sebagai dasar itu harus dilihat sebagai sesuatu yang bisa terus diperbarui. Tradisi bukan seperti deposito bank yang tidak bisa disentuh oleh para pewarisnya. Menurut Bass, tradisi adalah sesuatu yang dinamis, yang dapat diperjumpakan dengan tradisi dari gereja lain, bahkan agama lain, dan hal tersebut akan menghasilkan sesuatu yang baru, yang lebih imaginatif dan indah. Maka, panggilan kita adalah terus menerus memperbarui tradisi, sehingga tradisi lama akan terus menjadi baru. Old normal menjadi new normal.
Di situlah saya melihat bahwa dengan imajinasi dan kreativitas, gereja-gereja tua akan bisa melewati pandemi ini dan menjadi gereja tua baru. Gereja-gereja ini memiliki praktik ritual yang kuat, namun mereka tidak boleh menjadi ritualisme. Ritual itu justru harus menjadi api yang memanaskan gereja dan orang Kristen untuk berkarya dalam hidup sehari-hari. Maka, ibadat yang dilakukan secara virtual pun tidak boleh sekadar menambah jumlah ibadat yang baru, tetapi menawarkan api semangat yang baru bagi orang Kristen untuk berkarya secara konkret dalam kehidupan publik.
Dengan demikian, praktik diakonia yang lekat dengan tradisi gereja mesti diterjemahkan sebagai wujud ibadat publik atau ibadat sosial, sehingga peran gereja di masa dan pasca Covid akan semakin dirasakan. Ibadat publik ini tidak kalah penting dengan ibadat ritual. Mereka setara, dan dilakukan sebagai cara gereja mengakui Yesus Kristus, Sang Diakonos Agung, sebagai Guru dan Tuhan. Di situlah gereja-gereja menuturkan cerita mulia, cerita Tuhan Yesus dan cinta kasih-Nya dalam kata dan perbuatan. Cerita tentang kasih yang selalu mengalir tanpa pernah bisa dibendung oleh kekuatan dan kuasa apapun, termasuk oleh birokratisme dan institusionalisme gereja.
Di masa Covid-19 ini, justru kita sedang diingatkan oleh kasih Tuhan yang mengalir itu, sekaligus diperbarui oleh-Nya untuk tidak menjadi gereja tua yang lamban dan stagnan karena ditawan oleh beban-beban administrasi dan birokrasi. Era masyarakat industri 4.0 ini menyediakan bentuk-bentuk baru komunikasi yang lebih casual, cair, tangkas namun tepat sasaran. Kirbat baru komunikasi ini tentu lebih cocok untuk menampung anggur baru di masa Covid dan setelahnya.
(Penulis adalah Pendeta Universitas Kristen Maranatha, Bandung)