Oleh Pdt Supriatno
Selamat pagi, bapak-ibu, opa-oma, Saudara-saudaraku yang baik. Bangun pagi ini, semoga tubuh kita lebih bugar dan perasaan kita lebih segar. Kita menyongsong hari baru dengan kehadiran Allah yang memimpin hidup kita. Mari mengawalinya dengan terima kasih dan rasa syukur.
Firman Tuhan yang memandu langkah kita adalah, “Berkatalah aku kepada mereka: “Kamu lihat kemalangan yang kita alami, yakni Yerusalem telah menjadi reruntuhan dan pintu-pintu gerbangnya telah terbakar. Mari, kita bangun kembali tembok Yerusalem, supaya kita tidak lagi dicela.” Nehemia 2:17
Saudaraku, ada beragam sikap manusia ketika berhadapan dengan problem bangsanya. Ada yang tanggap. Menyingsingkan lengan baju, kemudian berbuat sesuatu. Ada yang masa bodoh. Pura-pura tidak tahu. Dan menganggap bukan prioritasnya. Ada juga yang mau berkontribusi namun menunggu ajakan pihak lain.
Yerusalem. Kota suci dan pusat kebanggaan Israel mengalami porak poranda. Tak terurus dan terabaikan. Nehemia merupakan contoh sosok yang tanggap melihat keadaan mengenaskan yang menimpa Yerusalem. Hatinya tersentuh oleh perasaan terpanggil.
Ia menanamkan dalam dirinya, bahwa ia harus berbuat sesuatu demi Yerusalem. Karena itu, ia pulang dari negeri lain, dengan meninggalkan pekerjaan yang baik dan hidup yang lebih dari cukup. Pekerjaannya bukan pekerjaan biasa. Ia orang istana. Ia lepaskan jabatan juru minuman raja.
Selain merasa terpanggil dan bertanggung jawab, Nehemia membangun kesadaran di tengah orang Israel. Bahwa kondisi muram Yerusalem merupakan tanggung jawab bersama. Ia tidak mau dirinya saja yang bekerja dan yang lain menjadi penonton. Ia menantang dan mengajak, “ mari kita bangun kembali”. Undangan ini bersifat penyadaran tanggung jawab bersama. Tanggung jawab kokektif. Ramai-ramai berpartisipasi.
Saudaraku, apakah Nehemia berhasil? Undangan dan ajakan untuk membangun kembali yang dilakukan Nehemia, menjadikan kita tahu karakter seseorang. Ada yang tergerak, bahkan dari kalangan bukan orang Israel. Mereka membantu dengan mendonasikan bahan bangunan. Mereka antusias mendukung ajakan Nehemia membangun Yerusalem.
Sayangnya, ada juga sikap yang nyinyir. Tidak berbuat sesuatu tapi lebih banyak merecoki. Sudah tidak membantu, ditambah lagi memproduksi opini negatif. Orang seperti ini untuk mengeluarkan dana dan bantuan buat kebersamaan kikir sekali. Tapi untuk kepentingan popularitas pribadi bisa royal.
Saudaraku, puji Tuhan. Terdapat karakter responsif di komunitas manapun. Ternasuk di lingkungan gereja. Ada orang yang tanggap berkontribusi buat kepentingan orang banyak, untuk gereja. Punya uang dia donasikan uang. Punya tenaga, ia sumbangkan tenaga. Punya ilmu ia mau berbagi ilmu. Pendeknya, yang dia punya menjadi aset untuk kebersamaan.
Sejalan dengan itu, ada juga orang yang menutup mata. Menganggap bukan agenda dan tanggung jawabnya. Lebih senang menjadi penonton. Dana bisa jadi dia punya. Tenaga juga dia punya. Yang tidak dia punya adalah kesadaran dan tanggung jawab buat kepentingan lebih besar.
Orang itu kaya tapi miskin. Secara material ia cukup, tetapi jiwanya ia miskin. Di jaman Nehemia, orang seperti Sanbalat. Tipe orang banyak kritik, sedikit sedikit memberi sumbangsih.
Saudaraku. Negeri kita tidak membutuhkan orang model Sanbalat. Sebab, bukannya meringankan beban malah menambah-nambah persoalan.
Saudaraku, hari-hari ini dibutuhkan di negeri kita sosok seperti Nehemia. Dan diperlukan sikap saling membantu satu sama lain. Saling menolong. Sikap tanggap terhadap gerejanya, masyarakat dan bangsa. Bergandengan tangan berbuat sesuatu yang bermakna.
Diperlukan anak-anak Tuhan yang punya sikap kesadaran mau berkontribusi. Bisa material, pengetahuan, bisa tenaga. Sebenarnya mendengar himbauan pemerintah. Tinggal di rumah. Dengan mematuhinya, kita sedang berkontribusi bagi situasi tidak makin memburuk.
Saudara, mari singsingkan lengan baju. Apa yang Anda miliki akan berati jika berkontribusi bagi situasi kehidupan lebih baik.