Refleksi Pagi, Pdt. Supriatno
Selamat pagi, Saudara-saudaraku yang baik dan yang dikasihi Allah. Semoga kasih Kristus beserta kita dan kita mengucap syukur di pagi yang baru ini.
Firman Tuhan hari ini, Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.
Lukas 6:35
Saudaraku, manusia pada dasarnya diminta hidup bersama dengan lainnya dengan damai. Saling tolong-menolong. Saling mengisi. Saling topang-menopang. Hal yang mendasarinya banyak. Salah satu alasan utama adalah setiap manusia mempunyai keterbatasan. Kita bisa membaca lantaran ada guru. Kita tidak mungkin bisa makan selengkap sekarang jika tanpa kehadiran orang yang menanam sayur, menangkap ikan, dll.
Dengan hidup damai dan harmonis itulah, apa yang kita punya bisa bermanfaat bagi orang lain. Sebaliknya, hal yang dimiliki orang lain bisa mendukung hidup Anda atau saya. Kita bisa rasakan ketika yang terjadi bukan damai tapi konflik. Orang lain, bukannya memberi manfaat malah menjadi sosok yang merugikan.
Karena konflik maka lahirlah garis pemisah atau demarkasi. Ini kelompokku, itu kelompokmu. Terbentuklah kami dan mereka. Suasana saling membutuhkan, diganti saling bermusuhan. Begitu konflik terjadi melihat orang lain pun menjadi berbeda. Semula bisa saling membantu. Kini hidup sendiri-sendiri. Tentu, hidup bersama menjadi terganggu.
Ketika sesama berubah menjadi musuh, bagaimana kita harus menyikapi dengan benar? Tuhan Yesus, tahu tentang peta relasi antar manusia. Bahwa situasi yang Ia jalani bersama murid-murid-Nya pun tidak lepas dari kehadiran musuh. Memang mereka tidak memusuhi, tapi dimusuhi.
Tuhan Yesus jelas sadar betul, kita tidak hidup dalam suasana permusuhan. Sekaligus tahu, betapa berbahayanya sebuah hati yang dipenuhi permusuhan. Karena itu, Dia mengajarkan agar kita bisa mengubah sosok musuh menjadi sahabat. Bukan menganjurkan kita bersikap yang malah makin memperbesar api permusuhan. Bagaimana caranya? Bukan pendekatan Habil, dengan kekerasan. Apalagi sampai mengakibatkan kehilangan nyawa. Bukan dengan mengangkat senjata.
Cara yang dianjurkan Tuhan Yesus adalah mengasihi mereka dan pinjamkan sesuatu dengan tidak mengharapkan balasan. Ini pendekatan baru, kasih dan kebaikan. Anjuran yang asing, dan bisa juga aneh di telinga banyak orang. Itulah cara jitu mengubah hati seseorang. Dari musuh menjadi sahabat, dari permusuhan menjadi persahabatan.
Saudaraku. Enak didengar, tapi apakah pelaksanaannya mudah? Apalagi ditambah lagi “mendoakan” mereka. Tidak salahkah nasihat demikian? Saya tidak akan kaget jika ada orang menyatakan, “wah, pak pendeta, mengasihi saja susah banget. Apalagi, sekaligus mendoakannya”. Betul, sekali. Sulit teramat sulit. Bagaimana mungkin, seseorang bisa mengasihi orang yang menghinanya, menghancurkan bisnisnya, merebut kekasihnya, menjegal kariernya, menjelek-jelekan dan melecehkan Tuhannya, merenggut nyawa keluarganya?
Bisakah Anda dan saya atau orang kristen memadukan dua hal tadi, mengasihi dan mendoakan? Komentar banyak orang, “ya, Allah, gak mungkinlah”. Atau ” itu sulit. Enak aja. Dia sudah mergikan saya lalu dikasihi”. Bahkan sering kita dengar ungkapan, ” hutang nyawa musti dibalas nyawa”. Seluruh ungkapan-ungkapan ini memperlihatkan betapa sulitnya nasihat yang disarankan Yesus. Nasihat itu bagus, tapi sulit. Bisa jadi ada yang menilai kurang realistis. Imposible.
Saudaraku. Ungkapan-ungkapan itu memang kita dapat mengerti, terlebih jika yang jadi korban adalah keluarga sendiri, apakah suami atau istri, orang tua atau anak. Betul, sulit dan teramat sulit. Tapi jika tidak bisa dan tidak mau, Tuhan Yesus menyatakan, “Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian”
Dengan bahasa lain. Lalu, jika orang beragama tidak mau, apa artinya keagamaan kita. Justru keagamaan yang tulen jiwanya penuh pengampunan. Jika tidak, dalam bahasa kasarnya, “apa gunanya kamu beragama? Berarti tidak ada bedanya dengan orang yang tidak mengasihi Allah.”
Jika kita bersikukuh tidak mau dan tidak bisa, di mana cinta kasih dan sikap doa kita? Kita mengakui, tatkala kita tidak mempraktikkan perintah Tuhan Yesus, kita melanggengkan permusuhan. Sadar atau tidak, kita membiarkan api permusuhan menyala terus. Tidak kunjung surut malah makin menjadi-jadi. Rantai permusuhan terus bersambung, tidak putus-putus. Bahkan permusuhan diwariskan ke anak cucu..
Tapi, bagaimanapun selama kita pengikut Kristus, itulah panggilan kita. Kita tidak membalas, melainkan mengasihi dan mendoakan.
Kita berdoa, “Tuhan, kuasai kami dengan Roh Kudus agar kami bisa mengubah musuh menjadi sahabat, permusuhan menjadi persaudaraan.
Kami berdoa buat saudara kami yang berulang tahun. Semoga hari ini berbahagia. Tuhan karuniakan usia yang bertambah. Semoga panjang umur, sehat, sejahtera menjadi berkat yang ia kecap. Tuhan menyayanginya.
Dalam nama Yesus, kami betdoa. Amin.