Refleksi Harian: 1 Raja-Raja 21:2

Kuasa Untuk Kesejahteraan

Selamat pagi, selamat menikmati pagi tengah pekan Saudaraku yang dikasihi Tuhan. Kita terus bersyukur kepada Tuhan, karena Tuhan juga terus mendampingi dan melindungi kita. Bahan refleksi harian: 1 Raja-Raja 21:2

Berkatalah Ahab kepada Nabot: “Berikanlah kepadaku kebun anggurmu itu, supaya kujadikan kebun sayur, sebab letaknya dekat rumahku. Aku akan memberikan kepadamu kebun anggur yang lebih baik dari pada itu sebagai gantinya, atau jikalau engkau lebih suka, aku akan membayar harganya kepadamu dengan uang.”

1 Raja-Raja 21:2

Saudaraku, banyak orang tidak siap ketika mengajukan permintaan ternyata ditolak. Ada perasaan dirinya kurang dihargai. Akibatnya memunculkan reaksi emosi bermacam-macam. Merasa Tersinggung. Bahkan berujung pada tindak kekerasan.

Permintaan seorang raja sering diartikan perintah. Seorang raja mengajukan permintaan, itu sama perintah yang harus dipenuhi. Tidak boleh didebat, apalagi didebat. Yang jadi obyek dimintai cuma satu pilihannya, yakni patuh dan mengabulkan permintaan seorang raja.

Nabot, orang kecil. Rakyat jelata. Kekayaannya terbatas. Dalam keterbatasan pemilikan harta material, dia punya sepetak tanah warisan. Karena tanah warisan ia tidak punya niat melepasnya, untuk dijual. Menjual harta warisan tindakan tercela. Tidak menghargai leluhur yang mewariskan agar keturunannya bisa mengelola demi kesejahteraan. Musti dijaga turun-temurun

Tragedi Nabot dimulai saat Ahab, sang raja mengidamkan untuk memiliki tanah yang ditanami anggur itu. Bukan saja tanah itu subur. Tapi juga, lokasinya dekat rumah raja Ahab. Mulailah nafsu keserakahan menguasai Ahab. Apalagi, pasti tidak perlu susah payah menguasai tanah tersebut. Karena milik orang kecil. Dampak politiknya tidak besar.

Berlatar belakang itulah, Ahab, Sang Raja meminta untuk tukar guling. Ahab menjanjikan akan menyediakan tanah pengganti di lokasi lain dan ditambah sejumlah uang.

Ternyata permintaan Ahab Sang Raja ditolak. Nabot tidak silau dengan iming-iming raja. Betapa menyakitkan penolakan demikian. Yang marah dan tersinggung harga dirinya bukan cuma Ahab, tapi juga Izebel, istrinya. Suami istri ini karakternya setali tiga uang,alias sama.

Kedua orang itu merasa mereka punya kekuasaan. Penolakan Nabot tidak bisa diterima. Mereka galau. Jengkel, ada rakyat jelata berani-beraninya menolak permintaan orang nomor satu. Izebel sebagai istri bukannya menyadarkan sifat keserakahan suaminya. Justru, dia mengompori atau memprovokasi raja bahwa itu penghinaan pada orang nomor satu.

Langkah mereka lebih lanjut adalah merancang pembunuhan. Tidak dengan menyewa pembunuh bayaran. Tapi, cara yang rapi tapi jahat. Yakni, bagaimana membuat opini bahwa Nabot telah melakukan tindak penodaan agama. Tuduhan seram. Dan hukumannya juga menakutkan sebab kematian. Bagaimana caranya? Izebel memohon tokoh-tokoh agama dan masyarakat berpuasa. Dengan dalih melindungi kepentingan kerajaan yang telah dilanggar Nabot. Selain itu, menyewa preman dan memviralkan informasi bahwa Nabot telah melakukan penodaan agama.

Dengan dua tuduhan palsu itu, Nabot divonis bersalah. Kemudian orang banyak merajamnya sampai tewas. Sebuah muslihat rapi, tapi jahat.

Saudaraku, kekuasaan itu bisa untuk kebaikan tapi bisa juga berbuat sewenang-wenang, sekaligus menyengsarakan orang lain. Ada pemilik kekuasaan memanfaatkan jabatan dan kekuasaannya dipakai untuk mensejahterakan orang lain. Mereka bertindak adil. Dengan kekuasaan mereka mengangkat derajat kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya. Kekuasaan menjadi saluran berkat. Betapa bersyukurnya, jika kita punya presiden, gubernur, lurah, yang menjadikan jabatan dan kekuasaan untuk bisa berbuat baik.

Sebaliknya, betapa berbahayanya sebuah negeri yang pemimpinnya lebih mengutamakan dirinya. Kekuasaan menjadi korup. Fasilitas negara dipakai seolah-olah milik pribadi. Sama seperti raja Ahab ini. Dia merasa orang nomor satu di kerajaannya, maka ia manfaatkan kekuasaannya untuk memenuhi segala keinginannya. Ini berbahaya, sebab namanya manusia keinginannya tidak pernah berhenti. Tidak pernah mengenal cukup. Sudah punya ini, ingin itu. Sudah punya motor ingin mobil. Sudah punya mobil satu, ingin dua. Dan seterusnya.

Kekuasaan sekali lagi bermata dua. Seperti pisau, di tangan juru masak yang piawai bisa menjadi alat yang berguna untuk membantu pekerjaannya memasak makanan lezat. Tapi, di tangan perampok, pisau itu menjadi alat menakutkan dan berbahaya, untuk meminta paksa harta benda orang lain. Oleh karena itu, kekuasaan harus dibimbing moral dan pemiliknya takut akan Tuhan. Disertai ikut berkarya dan berdoa untuk negeri ini. Sehingga adil sejahteralah negeri kita dan berbahagialah warganya.

Kita berdoa, “Ya, Allah, karuniakan negeri kami dengan pemimpin yang menggunakan amanat dan kekuasaan untuk membangun negeri ini. Jauhkanlah negeri kami dari pemimpin yang takabur, serakah dan merugikan rakyat.

Kami berdoa buat keluarga oran beriman yang tercinta. Kiranya cinta-Mu yang agung bersama kami di tengah pekan ini. Dalam nama Yesus, kami berdoa. Amin.

Oleh Pdt. Supriatno

Bahan refleksi harian: 1 Raja-Raja 21:2