Ibadah Mendonrong Mengasihi
Selamat pagi, ibu-bapak, kakek-nenek, dan saudara-saudaraku yang baik. Ketika kita bangun di pagi ini, ada yang tubuhnya sehat. Ada juga yang justru masih terbaring sakit. Meskipun demikian, kiranya tetap bersyukur kepada Tuhan. Dengan bersyukur itulah, kita masih melihat banyak hal yang kita terima dari Allah. Bahan refleksi harian: Amos 5:21-22
Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang
Amos 5:21-22
Saudaraku, ibadah adalah ungkapan hormat, pujian dan mengandung permintaan manusia kepada Tuhan. Dengan ibadah terjadi perjumpaan. Allah yang maha suci berkenan hadir dan menjumpai manusia. Ibadah kerap disebut untuk “menyenangkan Tuhan”.
Kita melihat dalam firman ini, Tuhan justru menolak ibadah umatnya. Ia tidak senang. Lebih dari itu diungkapkan bahwa Tuhan “membenci” segala bentuk ungkapan ibadah Israel. Ia juga bukannya menerima segala ibadah itu, malah menghinanya.
Mengapakah sebuah ibadah, doa dan berbagai ungkapan persembahan tidak berkenan kepada Tuhan? Apakah ibadah, doa dan pujian kita pun bisa Tuhan perlakukan sama?
Saudaraku, era atau jaman Nabi Amos, Istael hidup penuh dengan kemakmuran, tapi masalah sosial, terutama keadilan diinjak-injak seakan manusia itu tidak berguna. Terutama rakyat kecil mereka dipinggirkan. Wong cilik diperas. Sementara itu, para pejabat hidupnya mewah di tengah deraan penderitaan rakyatnya sendiri. Mereka hidup dalam kelimpahan, kesenangan dan kepuasan pribadi.
Karena kemakmuran itu, mereka dapat menyelenggarakan ibadah dengan semarak. Persembahan hewan terbaik dilaksanakan. Dengan demikian, perlakuan kurang manusiawi berlangsung. Ibadah yang meriah dan mewah pun diselenggarakan pula.
Saudaraku, bagaikan air di atas daun keladi, pepatah kita mengatakan. Yaitu sikap ibadah mereka tidak berpengaruh pada kehidupan sosial. Artinya, sikap kesalehan mereka berhenti di ruang ibadah. Perlakuan buruk atas sesama manusia tetap berjalan.
Di sinilah, Tuhan gemas. Ia benci dan merendahkan ibadah dan sikap kesalehan mereka. Doa dan ibadah menjadi kesalehan yang steril terhadap masalah sosial. Dalam ibadah demikian, memang orang Israel orang kaya dan pejabatnya menikmati kenyamanan dan kemapanan. Tapi, hilang jiwa kepedulian sosialnya.
Saudaraku, Tuhan menginginkan umat-Nya, dulu juga kini, berdoa dengan benar. Dia menginginkan kita beribadah dengan benar. Itu berarti, tidak cukup kesalehan kita berhenti di hari Minggu dan di ruang gedung gereja.
Doa dan badah kita mewarnai kehidupan sehari-hari, dari Senin-Sabtu pula. Sehingga kehadiran kita terasa bedanya. Alangkah ganjilnya (ironi), Minggu beribadah lalu Senin hingga Sabtu praktik-praktik yang menistakan martabat manusia dijalankan.
Tentu, kita tidak mau mendengar suara yang menyatakan “Allah membenci, menghina dan tidak senang” dengan ibadah kita. Kita tentu tidak mau mempraktikkan ibadah yang semu, kosong dan tak bermakna. Untuk itulah, ibadah kita justru mendorong kita mengasihi sesama. Ramah dengan keadilan. Benci terhadap tindak pemerasan.
Kita berdoa: Tuhan, kiranya jadikan kami pembawa kehidupan yang adil dan memuliakan kemanusiaan. Bukan yang suka dengan kemunafikan. Kiranya itu tercipta di lingkungan keluarga, gereja dan masyarakat.
Kami ikut bersyukur dan mendoakan Saudara kami yang berulang tahun. Doa dan harapan kami, saudara kami mengecap indahnya berkat-Mu, hati yang gembira dan panjang umur.
Kami berdoa untuk kesehatan dan keselamatan diri kami. Jauhkanlah dari bahaya. Hindarkanlah dari sakit-penyakit. Khusus, buat mereka yang tubuhnya lemah dan memerlukan perawatan. Ulurkanlah pertolongan-Mu yang ajaib. Sehinggga cepat pulih dan sehat kembali.
Dalam nama Yesus, kami berdoa. Amin.