Menderita Tapi Bermakna
Selamat pagi, Saudara-saudaraku yang baik. Puji syukur dan trrima kasih kepada Allah, yang kasih setia-Nya kepada kita tidak berubah. Pagi ini pun, kita merasakannya. Kita bangun dari tidur, membuka mata iman dan melihat betapa baiknya Tuhan atas kita. Bahan refleksi harian: Filemon 1:9b
Aku, Paulus, yang sudah menjadi tua, lagipula sekarang dipenjarakan karena Kristus Yesus
Filemon 1:9b
Saudaraku, bagaimana gambaran ideal mengisi masa tua yang indah? Pada umumnya, orang punya konsep bahwa masa tua ideal adalah hidup dikelilingi anak-menantu- cucu yang saling hidup rukun. Ekonomi atau uang pensiun cukup. Sekali-kali pesiar ke tempat-tempat indah. Tubuh tetap terjaga kesehatannya. Secara rutin bertemu teman-teman, baik teman di lingkungan gereja atau kerja atau tetangga. Minimal, demikianlah suasana yang didambakan banyak orang.
Hari tua memang menjadi momen menikmati hidup. Dalam Alkitab dikiaskan dengan ungkapan, “senja kehidupan”. Atau “rambut putihmu”. Sepenggal waktu berharga sebelum semua memasuki akhir kehidupan. Kebanyakan orang ingin masa tua menjadi momen untuk mereguk hal berkesan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.
Jika demikian ukuran masa tua yang indah, jelas rasul Paulus tidak memenuhi gambaran dan suasana di atas. Masa tuanya meringkuk di penjara. Jelas sendiri dan menjalani hidup dengan sepi. Keluarga tidak punya, sahabat berada nun jauh di kota-kota lain. Ekonominya pasti jauh dari kecukupan. Sehari-hari waktu dihabiskan di lingkungan penjara. Sebagai narapidana ia tidak bisa menikmati ruang gerak leluasa bepergian seperti yang diinginkannya. Ia meringkuk di ruang sempit.
Tapi, Saudaraku jangan katakan bahwa masa tua rasul Paulus tidak berarti dan tak berkesan. Kita tidak dapat secara gegabah menyatakan hidupnya tidak bahagia. Karena ternyata, rasul Paulus mensyukuri hidupnya. Suatu kebahagiaan dapat dilihat dari sikapnya menikmati hidup (enjoy of life). Sekaligus ada kegembiraan di dalamnya (joy).
Rasul Paulus tetap bangga dengan masa tuanya yang berbeda sekali dengan dambaan setiap orang. Ia bangga sebab dia terus mempunyai kekuatan memberitakan kabar baik. Waktu, tenaga, pikiran dan semangatnya tetap terfokus pada kepentingan memberitakan Kristus. Hidupnya diarahkan memberitakan injil yang menyelamatkan.
Artinya, tindakan dan berbuat sesuatu yang bermakna buat orang lain itulah hidup yang membahagiakan. Dia merasa hidupnya tetap berguna dan dirasakan sumbangsihnya. Hidup berorientasi ke luar (sentrifugal), Meskipun bisa saja secara material tidak berkelimpahan.
Saudaraku, selain kita punya gambaran sendiri tentang hidup yang indah. Alangkah indahnya, jika kita menjalani hidup ini dengan berbuat hal berarti bagi orang lain. Kita menghadirkan injil keselamatan secara nyata. Sehingga orang lain merasa ada pancaran kebenaran dan kebaikan dari kita. Dengan demikian, hidup kita tidak dibanjiri keluhan. Tidak diwarnai ketidak puasan. Melainkan seperti rasul Paulus ada suka cita dan rasa syukur.
Marilah, jangan biarkan waktu yang kita jalani hari ini, terpolusi dengan ketidak puasan dan keluhan. Saya yakin, para pelaku teror bom bunuh diri dan di Mabes Polri, nampak berani dan tidak takut kematian. Jangan-jangan jauh di lubuk hatinya yang terdalam ia merasakan kegelisahan dan ketidak tentraman batin. Hanya, jalan yang ditempuhnya bukannya orang lain merasakan sumbangsihnya yang bermakna. Justru, berakhir di jalan kematian yang mengenaskan. Ia tidak bisa menikmati hidup dan kehilangan arti suka cita kehidupan. Sungguh berbeda dengan jalan salib Kristus, menderita tapi bermakna buat kehidupan. Mari ikuti jalan Kristus.
Kita berdoa, Tuhan, kiranya kami mengelola waktu hidup kami diisi dengan kegembiraan dan rasa syukur. Dan kami menghadirkan hidup sehingga orang lain bergembira dan bersyukur pula.
Doa ini, kami serahkan kepada-Mu. Kiranya Tuhan berkenan memenuhinya. Amin.
Oleh Pdt. Supriatno