Selamat pagi, ibu-bapak, mbak-mas, oma-opa dan Saudara-saudaraku yang baik. Semoga pagi ini, kita menyongsong tengah pekan dengan mengucap syukur kepada Allah. Karena Dia-lah, kita dan keluarga kita masih diberi degup kehidupan. Bahan Refleksi harian: Matius 15:25-26b
Tuhan, tolonglah aku.” Tetapi Yesus menjawab: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.”
Matius 15:25-26b
Saudaraku, betapa terpukulnya perasaan seseorang, jika dia menjumpai sebuah fakta berbeda dengan bayangan ideal yang ada dalam pikirannya. Kemudian bisa jadi mengalami kekecewaaan berat.
Paling tidak, seperti itulah jika kita berada pada posisi perempuan dari Syro-Fenesis. Si perempuan itu bukan orang Yahudi, tapi mencari Yesus. Tentu dia sudah mendengar tentang Yesus. Sekaligus punya bayangan awal, bahwa Yesus itu maha baik, spontan memberi jika dia meminta. Dan dalam bayangannya kepribadian Yesus santun bahasanya, ramah dan penuh senyum menyejukkan.
Tapi, tatkala si perempuan syro-fenesia berjumpa langsung, buyar semua bayangan manis tentang Yesus. Mengapa? Sikap para murid-Nya saja kurang menyambutnya. Bahkan, lebih banyak menghalanginya.
Lebih mengagetkan lagi, respon Yesus saat ia punya kesempatan langsung mengutarakan langsung keinginannya. Apa kata-Nya, Yesus menolak. Tidak sekedar keengganan memenuhi permintaan si perempuan itu, lebih dari itu. Yesus menempatkan status dan identitas perempuan itu dengan sebutan binatang, anjing.
Saudaraku, jika seseorang tidak punya mental baja, pasti terpental dengan ucapan Yesus demikian. Bukankah sebuah konflik bahkan perkelahian bisa meledak jika seseorang disapa dengan binatang. Karena faktor harga diri. Dan itu sangat menyakitkan.
Lihatlah, sikap penerimaan si perempuan itu. Ia tidak langsung kecewa dan mengurungkan lebih jauh keinginannya. Ia malah membenarkan, bahwa betullah apa yang dikatakan Yesus. Dan ia siap menerima pemberian sekecil apapun, bagaikan remah-remah.
Saudaraku, Yesus melihat sosok ibu ini dan perlu dipenuhi keinginannya. Karena, sikap dan ucapannya mencerminkan keimanan kepada-Nya yang tidak bergeming. Ketidak ramahan dan ucapan menyakitkan dia terima dengan rendah hati. Tidak menolak dan marah. Perempuan itu, menempatkan sebagai bagian perjuangannya untuk meraih harapan. Yakni anaknya sembuh.
Sebuah potret ibu yang betmental tahan bantingan demi kesembuhan anaknya. Ia terima perlakuan apapun. Ia dengar ucapan sepahit apapun. Yang utama anaknya sembuh.
Saudaraku. Hidup sekarang tidak mudah. Perlu perjuangan. Dengan beriman bukan berarti semua jadi serba gampang dan serba lancar. Bisa saja kita temukan pengalaman pahit. Belajar dari kisah iman perempuan non Yahudi. Dia tidak cepat patah arang. Terus bertahan. Dan kita tahu, ujungnya Yesus menolongnya. Keinginannya terkabul. Anaknya sembuh. Tuhan memberkati mental dan daya juang luar biasa corak iman demikian.
Kita berdoa, “Tuhan, kiranya saat kami melangkah menjalani hidup ini, selama bersama-Mu kuatkan kami agar tidak cepat kecewa jika mengalami kesulitan, melainkan bertahan terus bersama Tuhan.
“Kami membawa dalam doa, buat saudara-saudara kami yang sakit. Yang sudah beberapa hari maupun yang baru. Kami berdoa buat saudara-saudara kami yang terpapar covid19- maupun jenis penyakit lainnya. Berkati kesehatan mereka yang sudah beberapa hari dan baru. Sehingga mereka sembuh kembali.
Tuhan, Semoga kami terus mengeratkan ikatan dengan Tuhan, sesama dan ikatan dibantar kami semua.
Inilah, doa kami Tuhan. Dengarlah dan kabulkanlah. Amin.