Berani Menegur
Selamat pagi, bapak-ibu, mas-mbak, opa-oma dan Saudara-saudaraku yang baik. Mari kita terus mencari wajah Allah, seraya bersyukur dan berterima kasih atas kasih setia-Nya dalam hidup kita. Bahan refleksi harian: Matius 3:7
Tetapi waktu ia melihat banyak orang Farisi dan orang Saduki datang untuk dibaptis, berkatalah ia kepada mereka: ‘Hai kamu keturunan ular beludak. Siapakah yang mengatakan kepada kamu, bahwa kamu dapat melarikan diri dari murka yang akan datang?”
Matius 3:7
Saudaraku, Yohanes Pembaptis pasti kita tahu siapa dia gerangan. Putra seorang imam. Berasal dari suku Lewi. Dalam Injil dialah yang memulai tanda pertobatan dengan bentuk baptisan. Ia mewakili suara Allah yang menegur untuk yang salah dan memberi janji tentang masa depan lebih baik.
Yohanes hidup dalam kesederhanaan. Busana yang dipakai jubah bulu unta, dan makanan yang disantap belalang dan madu hutan. Dalam kesederhanaan, ia mempunyai kewibawaan moral. Artinya, ia berani mengingatkan bahkan menegur keras, orang-orang yang hidupnya tidak sesuai standar yang diinginkan Allah.
Ia seakan tidak punya rasa takut dan tidak perduli bahwa pernyataan-pernyataannya membuat kemarahan dan sakit hati. Kita tahu, orang yang sakit hati dan marah, bisa menjelmakan perasaan itu menjadi dendam. Itu terbukti, ucapan Yohanes Pembaptis yang mengkritik perkawinan Herodes dengan Herodias.
Demikian juga, ucapannya yang tajam tertuju pada orang Farisi dan Saduki. Ia menyebut mereka keturunan ular beludak. Jenis ular ini berbahaya dan ada di padang gurun. Dengan menyebut orang Saduki dan Farisi seperti itu jelas, perasaan mereka tidak nyaman. Tersinggung. Meski benar, namun sikap blak-blakannya berpotensi menimbulkan reaksi balik yang bersifat memusuhi.
Kita tahu, ujung kehidupan tragis yang dialami Yohanes Pembaptis. Mati dipenggal. Sebuah kematian yang diakibatkan oleh apa yang tidak bisa dipisahkan dari sikap hidupnya yang konsisten. Yakni kesalahan tidak boleh disembunyikan. Kesalahan harus diungkap agar bisa diperbaiki. Walau hal itu melahirkan perasaan tidak suka dari orang yang dikritik dan dikecamnya.
Saudara, banyak orang tidak siap dengan ucapan-ucapan dan tindakan Yohanes Pembaptis, yang tanpa tedeng aling-aling menyatakan salah. Akibatnya Yohanes Pembaptis menuai resiko. Menyatakan salah adalah salah secara gamblang berisiko. Ini membuat orang berpikir berkali-kali untuk menyampaikan pesan kebenaran. Jangankan dengan gaya kecaman, dengan bahasa halus pun, banyak orang gentar. Ada perasaan takut menanggung risiko. Takut marah orang yang kita beritahu kesalahannya, takut persahabatan jadi rusak, takut disisihkan dari pergaulan, takut disambut dingin jika berjumpa, takut tidak dibantu jika suatu saat minta tolong, dsb.
Saudara, dalam pengalaman kita. Rasa gentar atau takut itu, tidak semata-mata jika pihak lain yang diberitahu. Bahkan terhadap orang terdekat pun banyak orang tidak berani melakukannya. Suami terhadap istrinya, kakak kepada adik, orang tua terhadap anaknya sendiri. Banyak alasannya, “ ah, takut ribut”, misalnya. Atau yang lain “ wah, jika saya menyampaikan kesalahan istri saya, bisa perang bratha yudha di rumah nanti”.
Pertimbangan untuk tetap menjaga relasi tidak terganggu, akhirnya kita membiarkan kesalahan terus berlangsung. Kita diam. Membiarkan. Atau paling-paling berharap, semoga ada orang lain saja yang berani memberi tahu.
Saudaraku, betul berbicara apalagi menilai orang lain, termasuk orang dekat kita, yang bernada kritik itu mulia. Ya, sangat mulia. Karena itu merupakan fungsi kontrol. Kontrol agar orang yang kita beritahu agar tidak jatuh ke jurang kesalahan yang lebih dalam. Dengan mengatakan “keturunan ular beludak “, Yohanes Pembaptis ingin menyadarkan orang Saduki dan Farisi bahwa ada perilaku mereka yang jahat. Itu fungsi kontrol. Berbahaya bagi orang lain, dan tercela bagi diri sendiri.
Sedangkan kalau kita diam, bisa saja kita disangka merestuinya. Dengan diam melihat ketidak beresan, bisa saja kita dinilai setuju dan merestui hal-hal tercela berlangsung di depan mata.
Bagaimanapun saat kita membisu melihat hal-hal tidak benar berlangsung di depan kita. Diam seribu bahasa. Maka, ketidak benaran akan makin meraja lela. Padahal, kita adalah terang. Ketidak benaran itu kegelapan, maka terang kita wajib menyinari kegelapan. Caranya, tidak mempermalukan, tidak menghakimi, dan tidak merasa sok saleh. Tapi, dengan cara menggugah kesadaran melalui ajakan yang menyentuh hati
Kita berdoa,”ya Tuhan, jauhkanlah kami melangkah ke jalan yang keliru. Dan mampukan kami mengingatkan mereka yang tengah berjalan keliru.
Kami berdoa, Tuhan yang memberikan anugerah keselamata dari ancaman marabahaya, dalam hal ini buat orang-orang yang bekerja bagi pelayanan. Mereka adalah para Anggota Majelis, Komisi, Panitia, Guru Sekolah Minggu. Engkau menganugerahkan berkat kesehatan dan suka cita. Semoga mereka berbahagia hidup di dalam Tuhan dan bahagia dikelilingi oleh keluarga yang mendukung dengan penuh cinta.
Doa ini kami naikkan dalam nama Tuhan Yesus. Amin.
Oleh Pdt. Supriatno