Hidup Serasi Dan Rukun
Selamat pagi, Ibu- bapak, Opa-oma, mas-mbak dan Saudara-saudaraku yang baik. Istirahat malam kita telah lewati. Sesungguhnya, Tuhan menjaga kita sepanjang malam. Puji Tuhan dan terima kasih kepada-Nya. Kini, kita membuka mata dan melihat betapa baiknya Tuhan atas kita. Bahan refleksi harian: Mazmur 115:4-7
(4) Berhala-berhala mereka adalah perak dan emas, buatan tangan manusia, (5) mempunyai mulut, tetapi tidak dapat berkata-kata, mempunyai mata, tetapi tidak dapat melihat, (6) mempunyai telinga, tetapi tidak dapat mendengar, mempunyai hidung, tetapi tidak dapat mencium, (7) mempunyai tangan, tetapi tidak dapat meraba-raba, mempunyai kaki, tetapi tidak dapat berjalan, dan tidak dapat memberi suara dengan kerongkongannya
Mazmur 115:4-7
Saudaraku, salah satu dambaan manusia adalah kemakmuran. Hidup makmur adalah hidup yang telah melampaui kecemasan atas dunia material. Segalanya telah ada. Semuanya terpenuhi. Siapa yang tidak tergiur hidup dalam keadaan serba ada?
Saudaraku, tapi ada manusia yang hidupnya punya tujuan tunggal. Yakni tujuannya cuma mengejar, memiliki dan menjaga kemakmuran. Seluruh hidupnya dikonsentrasikan pada pemilikan dunia material. Kemakmuran nomor satu. Target utama dan pertama bagaimana meraih kemakmuran. Tidak perduli agama. Masa bodoh sesama.
Saudaraku, orang demikian disebut orang yang memberhalakan emas dan perak. Dari dulu hingga kini, emas dan perak merupakan simbol kemakmuran. Simbol kekayaan. Pemiliknya berstatus tinggi. Orang yang memberhalakan kekayaan, dunia material yang dipujanya. Dia bersedia melakukan apa saja. Itulah pusat hidupnya. Di kepalanya yang dipikir harta. Harta. Harta.
Bagi siapapun yang memberhalakan kemakmuran, ia menyerahkan seluruh hidupnya demi kemakmuran semata. Sehingga akal sehat, nurani yang bening, dan jiwanya lumpuh.
Lalu, apa yang terjadi saat orang seperti butuh pertolongan? Terbuktilah emas dan perak itu sama sekali tidak berdaya apa-apa. Tak lebih sama dengan sosok berhala, punya mata tidak melihat, punya telinga tidak mendengar, punya tidak dapat meraba. Dan seterusnya.
Artinya, di saat hidupnya kritis, berada di batas kekuatanya sebagai manusia. Emas dan perak tidak berfungsi. Bisu seribu bahasa. Tidak mampu mengulurkan tangan. Orang yang fokus jiwanya hanya pada kemakmuran, tak tertolong.
Dengarlah sebuah kesaksian, “kami semua kaya raya, tapi ayah meninggal seorang diri. Sulit bernafas karena tercekik karena mencari sesuatu yang gatis dan tanpa biaya, yaitu udara. Sedangkan harta yang dikumpulkannya, ternyata tidak bisa membantunya, bahkan meninggalkannya begitu saja.”
Sebuah ungkapan seorang anak gadis, anak miliarder, yang ayahnya meninggal karena covid 19. Sebuah pesan berharga yang mau dia sampaikan, agar siapapun sadar, ternyata pada momen tertentu seluruh kekayaan ayahnya tidak bisa berbuat apa-apa.
Saudaraku, hidup sejati bukan berarti menolak kemakmuran. Namun, sadar bahwa kemakmuran tidak boleh didewa-dewakan. Kemakmuran cuma salah satu kebutuhan Anda, saya dan setiap orang. Tapi bukan segala-galanya. Karena itu, kemakmuran bukan sumber kebahagiaan. Buktinya, banyak yang makmur justru kehilangan kebahagiaan. Hidup sejati yang membahagiakan terletak pada sikap dan hati yang hidup serasi dengan Allah. Serasi dengan istri/suami. Harmoni dengan anak. Anak hormat pada orang tua. Serasi dengan saudara. Singkatnya, hidup rukun dengan siapa pun yang kita sapa sesama. Kiranya hidup demikianlah yang kita jalani hari ini.
Kita berdoa, “Tuhan, karuniakan kami untuk selalu dekat dengan Engkau. Sebab dengan Engkaulah kami telah dan akan terus merasakan keindahan kebaikan-Mu. Demikian juga dengan sesama, hidup kami saling menyapa dan menyayangi.
Tuhan Yang Maha Baik. Kami berdoa, Tuhan telah berikan usia yang baru. Semoga kedua saudara kami ini terus mengecap manis dan indahnya kasih saling menyapa dan menyayangi.
Kami serahkan hidup kami hari ini di dalam tangan-Mu yang penuh pengasihan. Dan doa ini kami panjatkan dalam nama Tuhan Yesus. Amin.
Oleh Pdt. Supriatno