Rut 1:15-17
Sudah jatuh tertimpa tangga. Kita sering mendengar atau menggunakan ungkapan tersebut untuk menyebut sebuah musibah bertubi-tubi yang dialami oleh seseorang. Seorang teman pernah mengalami peristiwa menyakitkan bertubi-tubi dalam waktu yang berdekatan. Ia kehilangan kedua orangtuanya dalam kurun waktu kurang dari satu minggu. Ayahnya meninggal dunia karena virus Corona dan hanya berselang empat hari kemudian ibunya pun harus menghadap Tuhan karena virus yang sama. Tak terbayangkan penderitaan yang dialami teman ini. Secara pribadi saya tidak bisa membayangkan betapa berat pergumulan keluarga mereka. Akan tetapi, ternyata keluarga mereka sanggup menerima dan melalui kondisi berat ini. Selain mengandalkan Tuhan, mereka dapat kuat karena mereka bersedia untuk saling menopang dan semakin bersatu untuk melanjutkan hidup.
Kita melihat, peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga itu juga dialami oleh Naomi. Dalam perantauannya di negeri asing, ia harus kehilangan suami dan kedua anak laki-lakinya. Dengan kondisi ini, Naomi merasa tak lagi ada harapan untuk ia bisa melanjutkan hidup di negeri asing itu dan memilih untuk pulang kembali ke negeri asalnya. Naomi pun menyarankan kedua menantunya untuk juga kembali ke kampung halaman mereka masing-masing. Namun kita tahu, hanya Orpa yang kembali dan Rut memilih untuk tetap ikut bersama dengan Naomi. Pernyataan Rut dalam ayat 16 dan 17 menjadi pernyataan yang luar biasa dari diri seorang Rut kepada Naomi. Bukan semata-mata soal kesetiaannya kepada ibu mertuanya, tetapi sebagai sesama perempuan yang kehilangan sosok laki-laki yang mereka kasihi, Rut tahu benar bahwa menghadapi penderitaan seperti dukacita bukan perkara mudah. Ia tak mungkin menghadapi hidupnya seorang diri. Perasaan yang sama tentu dimiliki oleh Rut. Maka Rut memilih untuk tetap ikut dengan Naomi untuk menjalani masa depan mereka bersama-sama. Dengan demikian, mereka bisa saling menopang, saling menguatkan bahkan saling menyembuhkan satu sama lain. Kepahitan hidup yang dialami Naomi tidak dijalaninya sendiri. Selain Tuhan, ada Rut yang berjalan bersamanya.
Pengalaman Naomi dan Rut dalam menghadapi kepahitan hidup ini memberikan penegasan kepada kita betapa pentingnya kehadiran seseorang yang dapat menjadi teman saling menopang dan saling menguatkan, bahkan ketika memiliki pengalaman pahit yang sama. Tak heran kita mengenal istilah “supporting group” dalam masyarakat kita. Misalnya supporting group para penyintas kanker, penyintas HIV atau yang lainnya. Di sana mereka saling berbagi kisah dan saling mendukung penyembuhan satu sama lain. Dukungan dan topangan dari orang yang seperasaan menjadi kekuatan lebih.
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini sudah memakan banyak korban dan telah memberikan dampak negatif yang luar biasa bagi banyak orang. Ada yang kehilangan anggota keluarga, pekerjaan, rumah, dll. Kita ada dalam pergumulan yang sama. Banyak orang mengalami kepahitan yang sama akibat pandemi ini. Maka di sinilah kita dapat mengoptimalkan kehadiran kita. Tidak melulu membiarkan diri terpuruk tapi saling topang dan saling berbagai kisah dengan orang lain menjadi salah satu bentuk pemulihan yang dapat ditempuh. Meskipun sudah jatuh tertimpa tangga, kita tetap percaya bahwa bersama-sama kita bisa bangkit. (JPH)
Pertanyaan Pendalaman:
- Bersediakan Saudara menopang dan mendukung proses pergumulan seseorang yang mengalami pergumulan yang pernah Saudara alami, meskipun itu artinya harus membuka luka lama?
- Sebagai bagian dari masyarakat bagaimana Gereja dapat berperan untuk menopang dan menyembuhkan kehidupan yang sedang rapuh ini?