Sama Di Bibir dan Hati

Oleh Pdt. Supriatno

Selamat pagi, Saudara-saudaraku yang baik. Terpujikah Allah, kasih-Nya tetap setia menemani kita. Dan itu juga berlaku hingga pagi ini.

Renungan kita bertumpu pada ucapan Tuhan Yesus, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku.”

Matius 15:8

Saudaraku, apa yang diucapkan bibir bisa tidak mewakili isi hati sesungguhnya. Lewat bibir seseorang, alangkah terkesannya kita, bila yang terungkap adalah ucapan lembut, santun dan ramah. Apalagi disertai isinya berupa puja-puji dan janji yang manis.

Namun, pesan firman Tuhan di atas memberi peringatan, bahwa bisa saja ucapan bibir itu tidak seiring sejalan dengan isi hati sesungguhnya. Kata-kata lembut seseorang, bisa berbeda dengan isi hati sesungguhnya orang itu. Yakni bisa saja penuh hatinya penuh kebencian.

Memang, tidak mudah kita menilai seseorang. Atau, bisa saja kita keliru memahami seseorang. Namun firman Tuhan mengajak kita sadar, ternyata bisa ada ketidak selarasan antara ucapan bibir dan isi hati seseorang, bahkan sebuah komunitas. Kita bisa menemukan bahwa antara yang kita dengar bisa berbeda dengan niat yang tersimpan dalam hati dan perbuatan yang nyata.

Kita menilai dan memahami seseorang, tentu lebih banyak bertumpu pada ucapan bibirnya. Sebab indra kita bisa mendengarnya. Telinga kita mendengar suara yang keluar dari bibir seseorang. Karena suaranya ramah dan santun, kita langsung katakan, “orang itu baik. Kepribadiannya lembut”.

Sementara itu, panca indra kita sulit menangkap isi hati sesungguhnya seseorang. Kita tidak punya alat canggih buat menerawang atau menditeksi isi hatinya. Tidak heran, sisi keterbatasan ini dijadikan peluang bagi orang-orang yang mau membangun citra diri. Orang mau mengelabui pandangan sesama atasnya. Orang yang demikian, dalam kehidupan keagamaan adalah orang munafik. Ia membangun citra diri agar di mata orang banyak, dia berkesan seorang saleh. Orang suci. Orang yang punya relasi khusus dengan Tuhan.

Saudaraku, tipe orang yang demikian, adalah orang yang pura-pura. Di balik suaranya yang mengesankan, padahal tersimpan ada ketidak murnian di dalam hatinya. Tuhan Yesus menyebutnya, “orang munafik”. Menurut Tuhan Yesus, sosok orang munafik itu diumpamakan bagaikan kuburan. Tampak luarnya indah, di balik tanahnya tulang belulang.

Saudaraku, orang munafik itu berambisi membangun diri “seolah-olah”. Seolah-olah orang baik. Seolah-olah orang terpuji. Seolah-olah penuh cinta kasih. Padahal hatinya, ya, isi hatinya yang merupakan ‘wajah asli’ dirinya tidak seperti itu. Tidak heran banyak orang terkecoh.

Dalam pengalaman hidup sehari-hari kita mendengar komentar orang yang terkecoh oleh penampilan luar. Misalnya, “gak nyangka, dia kalo ngomong halus sekali. Wajahnya bersahabat. Ternyata di rumah suka melakukan kekerasan KDRT.” Atau contoh lain lagi, “ah, jangan cepet percaya sama dia. Janji-janji manis terus waktu kampanye. Nyatanya, sudah dapat kedudukan, dia lupa sama kita. Kirain dia orang baik.”

Saudaraku, orang yang munafik tidak punya kemurnian niat. Dia berdoa, memberi santunan kepada yang lemah, berpuasa, itu semua dijalankan sebatas membangun citra diri. Dilakukan supaya orang lain melihat dirinya dan memujinya sebagai orang yang melakukan tindakan kesalehan. Tindakan keagamaan bukan buah dari hati yang tulus, sebagai bentuk kasih kepada Allah dan sesama. Melainkan dipakai sebagai alat untuk meraih pujian sempit.

Bentuk keagamaan bertujuan pencitraan belaka, jangan itu akan berkurang nilainya. Sebab menjadi bentuk keagamaan yang dipamer-pamerkan untuk membangun promosi diri. “Lihat saya berdoa, lihat saya banyak memberi, lihat saya berpuasa”. Sebab, jika kita melakukannya demi dilihat, diketahui dan dipuji orang. Apalagi, difoto dan kemudian di-share dalam dunia maya. Itu berarti motif keberagamaannya dangkal.

Awas, bahaya kemunafikan sedang menguntit kita. Tuhan Yesus sudah mengoreksi tindakan kesalehan yang pura-pura. Sebab, Tuhan tidak mengapresiasi kepura-puraan, melainkan menghargai kemurnian dan ketulusan.

Belajarlah dari buah manggis. Di bagian bawahnya ada indikator isi buah di dalamnya. Indikatornya empat, niscaya isi di dalamnya empat. Indikator yang di luar tidak pernah berbeda jumlah isi di dalamnya. Artinya, baik yang tampak atau yang ada di dalam selaras. Tidak pernah berbeda antara petunjuk luar maupun isi di dalamnya. Itulah, yang jika disematkan pada seseorang, maka orang itu disebut integritas. Yang dikatakan sama dengan yang diperbuat.

Kita berdoa, “Tuhan, beri kami kesesuaian antara ucapan bibir dan isi hati kami. Agar apa yang kami lakukan murni untuk memuliakan-Mu”.

“ Tuhan, sertai kegiatan kami sepanjang hari ini. Dalam tangan kuasa-Mu, kami serahkan diri kami dan kami panjatkan doa ini. Amin”.