Sapa Tanda Cinta

Oleh Pdt. Supriatno

Selamat pagi, Ibu- bapak, Opa-oma, mas-mbak dan Saudara-saudaraku yang baik. Puji syukur dan terima kasih kepada Allah, karena kasih setia-Nya kepada kita, keluarga dan Jemaat kita tidak berubah. Pagi ini pun, kita merasakannya. Kita masih membuka mata dan melihat betapa baiknya Tuhan atas kita.

Firman Tuhan hari ini diambil dari, “Dari Paulus, seorang hukuman karena Kristus Yesus dan dari Timotius saudara kita, kepada Filemon yang kekasih, teman sekerja kami (2) dan kepada Apfia saudara perempuan kita dan kepada Arkhipus, teman seperjuangan kita dan kepada jemaat di rumahmu”. Filemon 1:1-2

Saudaraku, kita hidup saling bertegur sapa. Seperti misalnya, “selamat pagi. Apa kabar?”. Hal itu kita lakukan sepanjang hayat masih dikandung badan. Dengan kata lain, sepanjang hidup kita. Ada pun sapaan bukan sekedar “ say hello”, ucapan untuk sopan santun semata- mata. Bukan pula sekedar basa-basi. Sapaan itu menandakan adanya relasi hangat yang terus terjaga dan sikap saling hormat.

Seorang anak mengirim pesan whattsapp berisi sapaan buat ibu atau bapaknya. Itu sesungguhnya ungkapan perhatian yang menghangatkan hati orang tuanya. Orang tua merasa anaknya tetap dekat, meski bisa jadi tidak tinggal serumah.

Seseorang yang tidak saling menyapa dengan sesamanya, bahkan dengan anggota keluarganya sendiri, tanda bahwa relasinya sedang dingin. Saling diam memperlihatkan adanya relasi sedang buruk. Bagaimanapun praktik tegur sapa mengandung arti yang dalam.

Rasul Paulus, posisinya berada di balik jeruji penjara sebagai napi. Sendiri dan sepi. Meskipun demikian, lewat surat dia menyapa para sahabat pelayanannya. Ia menyapa Filemon, Afpia dan Arkhipus. Dengan tindakannya, maka relasi di antara mereka tetap terpaut dan terjaga. Satu sama lain tetap terhubung.

Mereka sebenarnya berada di tempat dan situasi saling berbeda. Rasul Paulus tengah di penjara menjalani hukuman, sedangkan teman-teman pelayanannya berada di alam bebas. Namun posisi dan lokasi yang berbeda dan situasi yang berlainan, terjembatani oleh sapaannya.

Di tengah kesibukan masing-masing, sapaan menciptakan ruang bagi mereka keluar sejenak dari keasyikan diri sendiri. Keluar melihat yang lain.

Saudaraku, semakin kuat tingkat sapaan antar sesama, baik itu di keluarga, gereja dan di masyarakat, mencerminkan rasa hormat satu sama lain. Jika kita berpapasan dengan orang yang tidak kita kenal saat jalan pagi, lalu orang itu menyapa kita, “selamat pagi”. Kita merasa senang. Kita berasumsi dia menghormati kita. Meski, sekali lagi kita tidak kenal sama sekali orang itu.

Sebaliknya, suatu keluarga, masyarakat ataupun kehidupan gereja yang kehilangan sapaan satu sama lain. Maka, ketiganya kehilangan nutrisi yang dibutuhkan sebuah kehidupan bersama. Jika Anda memasuki sebuah ibadah gereja, Anda duduk di antara anggota jemaat lain. Dan di sana yang ada suasana saling diam. Tidak ada sapaan melalui bahasa tubuh, seperti tatapan mata yang hangat. Tidak ada senyum tersungging. Atau tidak ada ucapan selamat apakah selamat pagi atau selamat siang yang terungkap. Saya yakin, Anda merasa ada yang hilang. Kita merasa ada relasi yang hambar. Begitu Anda pulang, pulang dengan tanpa membawa kesan manis yang terrekam.

Saudaraku, berkaitan dengan itu, pagi ini sapalah Allah. Doa merupakan sapaan nyata kita kepada Allah. Ucapan kata “syukur dan terima kasih Tuhan “, lahir dari hati kita yang penuh hormat dan merasakan kehangatan atas kehadiran-Nya.

Jangan lupa begitu bangun sapalah orang di rumah. Sapalah ayah-ibu, anak, saudara-saudara, termasuk asisten rumah tangga. Saya yakin dengan sapaan, hawa kehangatan dan semangat hadir dalam rumah kita. Aura rasa hormat memancar dari rumah kita. Bandingkan, bangun dengan diam. Begitu buka mulut isinya instruksi, harus bikin kopi, bikin sarapan, dsb. Atau sederet ucapan panas terdengar di telinga. Bandingkan, begitu bangun suara bernada tinggi menanyakan benda yang dicari dan tidak berhasil ditemukan. Pasti hawa tidak nyaman menerobos suasana rumah.

Sapaan itu gratis. Tidak butuh biaya dan tidak butuh tenaga. Yang dibutuhkan hati yang punya cinta. Menyapa itu langkah sederhana menciptakan awal untuk berbahagia. Rasul Paulus menyapa karena punya cinta, dan menciptakan rasa bahagia di kalangan para sahabatnya.

Maka, mari begitu kita bangun ucapkan, “Selamat pagi”. Pendek dan sederhana sapaan demikian. Syukurlah jika Anda sudah kerap mempraktikkannya. Dan lebih bersyukur, sapaan seperti itu menjadi budaya dan kebiasaan dalam keluarga, masyarakat dan gereja kita.

Kita berdoa, “ Tuhan, karuniakan kami untuk selalu menyapa-Mu. Kami merasa dekat dengan Engkau. Dengan Engkaulah kami telah dan akan terus merasakan keindahan kebaikan-Mu. Demikian juga dengan sesama kami, kami membangun kehidupan yang saling menyapa.

Kami serahkan hidup kami di hari Rabu ini di dalam tangan-Mu yang penuh pengasihan. Jauhkanlah kami dari bahaya apapun. Kuatkan tubuh dan jiwa kami. Doa ini kami panjatkan dalam nama Tuhan Yesus. Amin.

Selamat beraktivitas di rumah saja.