Oleh Pdt. Supriatno
Selamat malam, saudara-saudaraku yang baik. Pagi tadi mentari terbit di timur setiap pagi dan bulan juga terbit pada malam hari begitu setia setiap hari. Terlebih Allah Sang Penciptanya, Dia setia dan selalu setia mendampingi kita. Puji syukur kepada-Nya.
Firman Tuhan menyatakan, “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.” Yohanes 15:11.
Saudaraku, Tuhan Yesus pernah menangis. Tidak hanya sekali, bahkan dua kali. Pertama ketika sahabat-Nya Lazarus meninggal. Dia merasakan duka mendalam, terlebih melihat betapa Maria dan Marta amat terpukul dengan kematian saudara laki-lakinya. Di sana Dia menangis. Kedua, Dia menangis saat masuk kota Yerusalem. Ia menangisi kota itu yang akan mengalami nasib buruk. Musuh akan mengepung kota itu, dan Yerusalem serta penduduknya tidak berkutik. Ajal dan kehancuran akan terjadi atas mereka.
Tidak hanya menangis, Ia juga pernah marah. Meja pertukaran uang, sekarang namanya money changer, dan para penjual hewan di depan Bait Allah, menjadi sasaran kemarahan-Nya. Menangis dan marah, dua luapan emosi mengalir dari sosok Tuhan Yesus. Menangis bukan karena cengeng atau ekspresi jiwa yang lemah, melainkan Ia tahu kematian merupakan peristiwa paling menyedihkan. Simpati dan empati itulah yang melatar belakangi mengapa ia menitikkan air mata.
Sementara itu, Ia marah bukan marah pura-pura. Ia tidak bersandiwara. Tuhan Yesus benar-benar marah, sehingga meja-meja penukaran uang dibalikkan, uang dihamburkan, hewan-hewan dicerai-beraikan dan para pedagangnya diusir. Suasananya pasti riuh. Para pedagang membereskan dan menyelamatkan barang dagangannya. Sebuah tontonan kemarahan luar biasa. Belum pernah saya temukan ledakan kemarahan demikian di kalangan pendeta.
Kemarahan Tuhan Yesus itu bukan pertanda Dia temperamental. Tidak sama sekali. Dia bukan tipe pribadi emosian. Orang yang temperamental sedikit-sedikit marah. Istilah yang suka dipakai untuk orang yang cepat tersinggung dan marah adalah orang bersumbu pendek. Cepat meledak emosinya. Tuhan Yesus bukan tergolong seperti itu. Dia peduli dengan kesucian bait Allah. Dia tidak bisa berdiam diri melihat ketidak beresan menodai Bait Allah. Bait Allah menjadi arena berniaga. Bait Allah bukan tempat cari untung dan sumber nafkah. Persembahan ritual menjadi komoditi. Para pedagang itu mencemari keberadaan kesucian Bait Allah, itulah penyebab mengapa Yesus marah.
Jelas, Yesus, Tuhan kita pernah menangis bahkan dua kali. Dia pun pernah marah, kemarahan yang hebat. Kini pertanyaannya, pernahkah Dia bersuka cita dan kapan peristiwanya? Saya yakin, dalam kemanusiaannya, Yesus mempunyai emosi. Menurut Alkitab, hati adalah sumber emosi. Yesus punya hati maka tentu sebagaimana lazimnya Ia pun memiliki emosi, termasuk bersuka cita.
Meski Alkitab tidak mencatat dan memberi kesaksian secara gamblang kapan tepatnya Yesus tertawa atau bersuka cita. Bacaan kita menginsyafkan bahwa Tuhan Yesus selalu bersuka cita manakala kita mematuhi perintah-Nya, yakni dalam status sahabat dan diutus ke tengah dunia mempunyai pola hidup saling mengasihi.
Pola hidup kita yang melahirkan suka cita Tuhan Yesus. Yakni pola hidup ketersalingan. Dalam hal ini praktik hidup saling mengasihi. Jadi, kalau kita mau menyenangkan hati Yesus supaya Dia bersuka cita, kita hidup saling mengasihi. Itulah kuncinya.
Dia bersuka cita bukan karena guyonan dan kelakar kita. Bukan sama sekali. Jika anda mengasihi istri dan istripun mengasi anda, seorang anggota majelis mengasihi warga jemaat dan demikian pula sebaliknya, maka Yesus akan bersuka cita. Kasih timbal-balik antara orang tua dan anak, kakak-adik, guru-murid, dan lain-lain, niscaya hati Tuhan meluap dengan kegembiraan. Semua kita yang dipanggil sahabat oleh Tuhan Yesus menempatkan diri kita sebagai subyek mengasihi yang tidak sepihak.
Jika Anda dan saya ingin membuat Tuhan menangis, berbuatlah hal sebaliknya. Kita mempraktikkan pola hidup yang saling memusuhi, yakni orang tua-anak, kakak-adik, pemimpin- yang dipimpin, antara warga jemaat yang satu dengan yang lain, dsb. Kita memilih hidup mengisolasi diri daripada berkomunikasi. Saling masa bodoh. Percayalah, kita membuat Tuhan Yesus menangis. Menangis prihatin.
Kini, kita diperhadapkan dengan dua pilihan. Yaitu membuat Tuhan Yesus bersuka cita atau membuat-Nya menangis. Antara hidup saling mengasihi atau saling membenci satu sama lain. Pilihan pada salah satu akan menuntun kita pada pola hidup yang kita jalani. Kita punya pilihan masing-masing. Kita bisa jika mau memilih pola saling mengasihi. Sama bisanya kita menjalani pilihan saling memusuhi dengan sesama.
Saudaraku. Dunia tengah dahaga dengan cinta. Semua terpapar kesulitan dampak virus yang bersifat pandemik. Presiden Uni Eropa dalam pidatonya mengulas sikap negara-negara Eropa dengan nada pedih. Di momen sulit ini, saat dia mengajak negara-negara Eropa menarik potensi mereka buat mengatasi kesulitan negara anggota uni eropa yang tengah terpuruk. Tapi, ternyata mereka malah saling menarik diri tak ingin berbagi. Memang tidak mudah saling mengasihi di saat sulit. Itu di level negara, jangan sampai terjadi juga di level pribadi dan masyarakat. Saat inilah, betapa relevan hidup saling mengasihi untuk memperkuat diri melawan kesulitan.
Saudara, saya percaya kita akan menjatuhkan pilihan yang mana. Model ideal tentunya. Itu berarti di tengah kehadiran kita di dunia, saling mengasihi, itulah yang hendak kita jalani. Suka cita buat Tuhan Yesus, suka cita pula hati kita dan sesama kita. Semoga Allah menguatkan pilihan kita yang tepat.