Selamat pagi, bapak-ibu, mas-mbak, eyang kung-eyang putri dan Saudaraku yang baik. Puji syukur dan terima kasih kepada Allah, pagi yang baru kita masuki. Semoga tidur dan istirahat malam menyegarkan kita. Kiranya kita bisa melihat dan mengalami kasih Tuhan di akhir pekan ini.
Firman Tuhan untuk direnungkan, “Maka takutlah ia, lalu bangkit dan pergi menyelamatkan nyawanya; dan setelah sampai ke Bersyeba, yang termasuk wilayah Yehuda, ia meninggalkan bujangnya di sana. (4) Tetapi ia sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah sebuah pohon arar. Kemudian ia ingin mati, katanya: “Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku.”
1 Raja-raja 19:3-4
Saudaraku, banyak milik manusia yang berharga. Dan bagi siapapun menganggap bahwa yang paling berharga nyawa. Saking berharganya, orang berani membayar berapapun biaya yang harus dikeluarkan demi nyawanya. Lumrah. Karena manusia cuma punya satu nyawa. Tidak ada cadangannya. Dan, tidak diperjual belikan.
Bagi seorang nabi, hal itu pun sama. Wajar, saat nyawanya terancam maka harus diambil langkah penyelamatan. Seorang nabi tidak membiarkan nyawa hilang begitu saja. Dengan segala upaya, seorang nabi pun agar nyawanya tidak hilang sia-sia.
Kita tahu menjadi nabi itu penuh resiko. Tugasnya untuk menyampaikan kehendak Allah, tidak selalu disambut dengan ramah dan terima kasih. Nasihat dan anjurannya tidak selalu diterima dengan suka cita. Di mata orang yang bergelimang dalam ke salahan. Dan enggan keluar dari sana. Suara nabi bukan suara yang diperlukan. Malah, dianggap mengganggu. Menganggu keasyikan mereka.
Nabi Elia merasakan dan mengalami resiko itu. Hidupnya terancam, setelah menjalankan tugas kenabiannya. Memang, tugasnya berat. Kali ini, yang dihadapi pun bukan figur yang sembarangan.
Tugasnya, mengharuskannya menghadapi 450 nabi Baal. Dan berhasil, semua diatasinya. Itu jelas-jelas merupakan reputasi luar biasa. Elia dengan gagah berani melampaui tugas itu dengan baik. Tapi, rentetan selanjutnya, karena tindakannya itu ia harus berhadapan dengan ratu Izebel. Perempuan nomor satu di kerajaan itu. Ratu pelindung nabi-nabi Baal tersebut tidak berkenan dengan Elia.
Suasana seperti apa, yang musti dihadapi nabi Elia? Ratu itu murka. Tingkat kemurkaannya sampai ia memerintahkan agar menangkap nabi Elia untuk dibunuh. Betapa takutnya nabi Elia, nyawanya terancam. Sebagai seorang nabi, ia juga manusia. Ia tidak rela nyawanya hilang. Situasi ini menimbulkan tekanan psikologis dan keresahan batin. Sehingga ia mengadu kepada Tuhan. Sekaligus terungkap pernyataan tanda ia tertekan dan frustasi serta mengeluh, “Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku…”
Saudaraku, membawa orang lain untuk sadar dari kekeliruan ternyata membawa konsekuensi. Betul, ada orang yang berakal sehat, yang senang jika salah diingatkan. Betul, ada orang yang hatinya terbuka, jika berbuat keliru maka bersedia dinasihati. Kemudian ia berbalik pada pola hidup yang benar.
Nabi Elia berhadapan dengan orang yang menolak keras nasihat, teguran dan ajakannya berbuat baik. Padahal, siapa sih orang orang yang tidak punya salah? Setiap pribadi tidak lepas dari kekeliruan. Sayangnya, begitu ada pihak dengan tulus hati, motif yang bersih, dan niat yang bening, memberitahu dan mengajak kembali ke jalan yang benar. Tidak semua orang menyambutnya dengan baik. Dianggapnya, tindakan itu membuka aib. Disangkanya berniat mempermalukan. Bahkan ada yang merespon berlebihan sebagai pencemaran nama baik. Tidak heran, reaksi marah dan tersinggung kemudian muncul.
Saudaraku, hari ini, saat kita beraktivitas, ternyata ada hal kurang pas yang kita lakukan. Bersyukurlah, jika ada orang lain menegur dan menasihati. Teguran tanda peduli dan perhatian.
Seiring dengan itu, jika kita melihat justru orang dekat kita, yang bertindak kurang pas. Melanggar etika dan tidak sejalan dengan firman Tuhan. Bisa saudara sekandung, anak kita, pasangan hidup kita, atau rekan kita sendiri. Jangan ragu, ingatkan dan nasihati. Bertindaklah dengan niat yang tulus dan cara yang tidak melukai hati. Bahasa agama itu santun. Tidak usah pakai teriak-teriak, nada marah dan bahasa jorok atau vulgar. Kiranya Tuhan menguatkan kita mengemban tugas ini.
Kita berdoa, “Tuhan, kiranya kami tidak gentar untuk memikul tugas luhur menciptakan kehidupan yang benar bagi siapapun.
Kami berdoa buat saudara kami yang sakit dan harus dirawat di rumah atau di rumah sakit. Kami memohon kepada-Mu, Tuhan, agar diberi perkembangan kesehatan yang lebih baik. Kehadiran-Mu memberi kekuatan dan pengharapan.
Tuhan, semoga akhir pekan ini, kami bisa menikmati hari bersama keluarga, saudara atau teman-teman dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Kami dapat mengisi waktu dengan aktivitas yang bermanfaat. Dalam Kristus, kami berdoa. Amin.
Oleh: Pdt. Supriatno