Oleh Pdt. Supriatno
Ketika kita terlelap tidur, mata terpejam dan organ tubuh kita istirahat. Tuhan kita sungguh setia tetap menjaga kita. Puji Tuhan dan selamat pagi, Saudara-saudaraku yang baik.
Firman yang melandasi refleksi pagi ini diambil dari, “Kata Izebel, isterinya, kepadanya: “Bukankah engkau sekarang yang memegang kuasa raja atas Israel? Bangunlah, makanlah dan biarlah hatimu gembira! Aku akan memberikan kepadamu kebun anggur Nabot, orang Yizreel itu.” 1 Raja-raja 21:7
Saudaraku, keinginan kuat terhadap sesuatu adalah hal wajar. Orang tua mana yang tidak ingin anaknya mencapai keberhasilan. Malah, dari sanalah pangkal lahirnya berbagai upaya serius untuk mewujudkannya. Ini yang terungkap di balik ucapan penghiburan Izebel atas suaminya, Ahab, seorang raja.
Sayangnya, keinginan Izebel berkaitan dengan penguasaan atas nama milik orang lain. Sang raja masygul, sedih, murung sebab keinginannya memiliki tanah Izebel ditolak pemiliknya. Raja tertarik dengan tanah subur milik Izebel. Lahan yang subur. Lokasinya pun dekat dengan istananya. Bagi seorang raja penolakan seorang warga biasa, sebuah pukulan. Bahkan bisa saja dilihat sebagai bentuk ketidak hormatan atau penghinaan atasnya.
Saudaraku, Izebel sebagai istri ikut merasakan pukulan batin suaminya. Sekaligus ia tidak bisa menerima keinginan raja ditolak warganya. Dia tidak mau tahu bahwa penolakan Nabot dikarenakan tanah itu warisan tanah leluhur. Artinya, ia punya kewajiban moral untuk terus menjaganya. Jual-beli tanah leluhur adalah tabu. Tanah menjadi media yang mengikatkan mereka yang masih hidup dengan leluhurnya terdahulu. Tanah leluhur yang dijual sama dengan memporak porandakan ikatan luhur kekeluargaan. Nah, nilai ini di mata Nabot lebih berharga daripada uang.
Keinginan kuat Izebel untuk memenuhi hasrat raja Nabot, suaminya mengabaikan nilai luhur itu. Keinginan kuat dia dan suaminya bukan lagi hal wajar. Itu sudah masuk wilayah kerakusan. Tidak merasa cukup. Realisasi keinginan itu, lebih pada mengikuti nafsu memiliki yang tidak terkendali.
Lihatlah, saudaraku, apa yang kemudian mereka lakukan atas Nabot, orang kecil dengan sepenggal tanah luhur yang dijaganya? Mereka merancang pembunuhan berencana. Mereka merekayasa bahwa Nabot telah menghina Allah dan raja. Saksi palsu disiapkan. Peradilan digelar. Akhirnya, dengan tuduhan palsu itulah Nabot dijatuhi hukuman mati. Vonis dilempari batu mengakhiri hidup Nabot. Tindak lanjut kemudian, duet pasangan jahat itu menguasai tanah Nabot, si malang.
Saudaraku, Izebel dan raja Ahab yang punya hasrat besar dan upaya merealisasikannya, telah menempuh jalan keliru. Itu bukan keinginan yang tergolong normal. Tetapi kerakusan yang berbahaya. Hingga nyawa seseorang pun tidak ada harganya demi memenuhi roh kerakusan. Kerakusan yang menguasai jiwa seseorang akan menjadi virus berbahaya dalam kehidupan bersama. Zaman now, hal demikian kerap terjadi. Yang kuat dengan segala nafsu kerakusannya merampas tanah milik orang kecil.
Rasa tidak puas, tidak cukup, selalu mendominasi orang-orang rakus. Sampai seorang tokoh bernama Gandhi menyatakan, “bumi ini dirancang Tuhan cukup untuk menghidupi seluruh umat manusia. Tetapi, bumi ini tidak cukup untuk menghidupi satu orang yang rakus”. Dan bagi kita, orang yang rakus, seperti Ahab. Izebel, adalah orang-orang yang tidak mampu bersyukur. Orang yang selalu melihat yang tidak dipunyai, bukan mensyukuri yang Tuhan telah berikan.