Refleksi Harian: Filemon 1:16

Mau Membahagiakan

Selamat pagi, ibu- bapak, opung dan Saudara-saudaraku yang dikasihi dan diberkati Tuhan. Malam telah berganti pagi, dan kasih Tuhan tetap mendampingi kita. Puji Tuhan. Bahan refleksi harian: Filemon 1:16

bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan

Filemon 1:16

Saudaraku, seorang guru mendapati salah seorang muridnya sulit belajar di kelas. Bahkan cenderung suka menjaili teman siswa lainnya. Suara sang guru acap diindahkan. Suka membantah. Usut punya usut, murid itu kurang mendapat perhatian. Ayahnya sibuk dengan pekerjaannya. Ibunya asyik dengan teman-teman pergaulannya.

Saudaraku, salah satu kebutuhan hidup manusia adalah mendapat perhatian. Sebab, dengan menerima itulah manusia merasa diakui dan dihargai di mata sesamanya yang lain. Tidak heran, jika kebutuhan ini tak terpenuhi akan melahirkan rupa-rupa tindakan yang aneh-aneh. Seperti ilustrasi murid itu. Dan itu bukan satu-satunya bentuk tanda kehausan perhatian. Para pemuda yang kebut-kebutan dengan motor di malam hari, itu bisa jadi contoh lain.

Dalam lingkungan hidup keluarga, dengan mengecap perhatian itulah seorang istri bisa tahu betapa berarti berarti dirinya di mata suaminya. Atau, sebaliknya. Begitupun dengan anak, saat ia merasa perhatian orang tua atas dirinya cukup ia sungguh merasa pribadi yang bermakna di mata ayah dan ibunya.

Rasul Paulus paham betul bahwa perhatian itu bukan perkara kecil dalam kehidupan seseorang. Perhatian bisa menuntun perubahan nasib seseorang. Dalam hal ini bagi perjalanan hidup Onesimus yang setia menemaninya.

Saudaraku, usia rasul Paulus sudah tua, sakit-sakitan dan tengah mendekam dalam penjara. Kondisi ini siapapun memakluminya sebagai keadaan yang membutuhkan perhatian. Secara fisik lemah dan ruang gerak aktivitasnya amat terbatas.

Tetapi, rasul Paulus tidak menuntut apalagi merengek-rengek menuntut perhatian dari orang yang dilayani. Padahal kita tahu, dia dipenjara karena Injil bukan tindakan kriminal yang dilakukannya. Ia berjerih lelah untuk melayani Tuhan, memberitakan Injil dan membangun Jemaat. Sungguh, masa tuanya hidupnya sulit sekali. Tanpa teman. Tanpa perawatan kesehatan yang memadai. Tanpa bisa menikmati udara bebas. Betapa berat situasi yang ditanggungnya.

Justru, ia meminta agar Jemaat berusaha keras mengubah status Onesimus bukan lagi hamba atau budak. Era itu budak adalah manusia kelas dua. Diperjual belikan. Status sosial rendah sekali.

Saudaraku, kita melihat keagungan seorang hamba yang setia hingga di masa tua, ia tidak mendapat perhatian yang memadai tapi ia juga tidak menuntut atau mengeluhkannya.

ia tidak mau menyusahkan orang-orang beriman yang dilayaninya. Malah yang ia minta dan diperjuangkan Jemaat adalah mau menerima Onesimus, bukan lagi sebagai hamba atau budak. Agar hidup Onesimus lebih baik.

Saudara, keagungan seorang manusia terpancar dari sikap dan perbuatannya yang mulia. Salah satunya memberi perhatian bagi orang lain. Hal ini ternyata tidak mudah di era modern. Terutama makin kuatnya budaya individualistik. Lihat saja, sebuah keluarga atau pertemuan sahabat. Meski duduk bareng-bareng, semua asyik membuka HP-nya masing-masing. Asyik sendiri-sendiri. Itu baru satu contoh.

Saudara, inilah pelajaran rohani kita pagi ini. Saudara dan saya butuh perhatian, tapi kita harus membebaskan dari tuntutan egoistik. Artinya, kita jangan hanya berjuang terpenuhinya kebutuhan hanya untuk kita sendiri saja. Kita pun berusaha keras agar pasangan hidup kita, anak-cucu kita, teman sekantor atau orang tidak kita kenal sekalipun untuk mendapat perhatian pula dari kita. Dengan demikian, kita membuat orang happy. Dan percayalah orang yang happy akan memantulkan sikap yang mau membahagiakan juga. Alangkah indahnya hidup jika tercipta demikian. Semoga.

Kita berdoa, Tuhan tumbuhkan hati yang membentu perilaku yang mengalirkan bagaimana kami memberi perhatian buat sesama kami. Anak atas orang tua, orang tua buat anak. Kehidupan perkawinan yang saling berbagi perhatian dan pertemanan yang saling menguatkan.

Dalam nama Yesus kami memohon. Amin

Oleh Pdt. Supriatno

Refleksi harian: Filemon 1:16